Cerita Lama (Kutulis 3 Jan 2007)
Siapa bilang orang melayu suka makan angin, buktinya Sawal suka makan ikan. Bukan karena ia ingin punya otak macam orang Jepang, tapi karena Sawal memang penangkap ikan alias nelayan tulen. Profesi ini sudah ditekuni berabad-abad oleh nenek moyangnya sehingga ia terpaksa harus berbangga dengan sebutan nelayan, karena itu telah mendarahdaging di tubuhnya. Karena pekerjaannya inilah Sawal mengalami sebuah pengalaman yang menarik selama di tengah laut.
Angin pagi berhembus sepoi-sepoi, membuat siapa saja yang berada di pantai bisa tertidur lelap dan enggan untuk bangun. Pagi yang cerah itu sawal beranjak pergi ke tengah laut, kali ini tampaknya selain untuk menangkap ikan, ia berharap sesuatu perubahan terjadi dalam hidupnya. Ia pergi menggunakan sampan dayung. Karena enjoinya mendayung, ia pun terbawa lamunan.
Sawal tiba-tiba bertemu dengan sebuah kapal layar yang besar, seperti kapal kerajaan zaman bahola. Di dalamnya terdapat beratus-ratus pekerja. Dari setiap bagian kerja dipimpin oleh seorang kepala. Kemudian dari dalam rumah kapal itu tampaklah oleh Sawal seorang yang berpakain seperti raja diikuti dayang-dayangnya. Lama Sawal memperhatikan kejadian itu, lalu ia berusaha perlahan-lahan mendekati kapal besar itu. Sawal tampak keheran-herananan.
“Mungkin ini lancang kuning itu, atau kapal Christoper Columbus, ya?” pikir Sawal dalam hati.
Setelah agak dekat, Sawal melihat betapa indahnya kapal itu, jauh dari keindahan yang dimiliki oleh sampan goleknya.
“Atau kapal nabi Nuh?” Sawal bertambah pening.
Ia perhatikan ukiran-ukiran di kapal itu begitu eloknya, tiang-tiangnya, lambung kapalnya, dan dek kapal itu semuanya terukir dengan begitu hebat dan sempurna.
Tapi dia terkejut melihat seseorang dari kapal itu mengarahkan teropong ke arah dirinya. Dan ia berusaha lari tapi, keburu ketahuan.
“Hei, jangan pergi atau Engkau kami bunuh!,” kata sang nakhoda kapal.
“Ba..ba..baiklah, hamba tidak akan pergi, jangan bunuh hamba. Hamba belum kawin,” pintanya.
Dengan ketakutan Sawal pun mendekati dan mengikuti perintah sang panglima kapal. Ia kemudian merapatkan sampan goleknya dan mengikatkannya ke kapal besar itu.
“Hei anak muda, cepat kemari!” bentak panglima.
Ketika Sawal naik ke kapal itu, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang seakan-akan ia ingin jatuh saja ke laut. Di lihatnya di samping sang panglima 5 orang pengawal berbadan Ade Ray dengan AK 47 dipegang masing-masing.
“Engkau akan aku hadapkan ke Paduka Maharraja Sri Baginda Sultan Yang Dipertuan Agung Bujang Kelane bin Mahmud bin Atan Patin XIII, dan akan diadili dihadapan baginda,” jelas panglima.
“Kalau baginda berkehendak engkau dibunuh, maka engkau akan dipancung. Engkau punya kepala akan dipancang di atas tiang, sedangkan tubuhmu akan diberikan kepada ikan Hiu di laut lepas.
“Haaaa, ja ja jangan, tuanku. Hamba mohon ampun. Kan hamba tak bersalah? Apa salah hamba, tuan panglima?” Sawal protes.
Akhirnya Sawal dihadapkan dengan sang raja Bujang Kelane.
“Ampun tuanku. Hamba membawa seorang yang tak dikenal. Hamba mendapati dia mendekati kapal kita, tuanku,” papar sang panglima.
“Anak muda, siapa namamu?” tanya baginda raja.
“Nama hamba Sawal, Tuanku.”
"Kenapa engkau berlayar sampai ke daerah kami?"
"Hamba tidak sengaja, tuanku. Tapi biasanya ini daerah hamba menangkap ikan, tuanku. Jadi, mohon ampunilah hamba," Sawal meratap.
"Aku perlu berpikir sejenak."
“Tuanku, apakah hamba akan dipenggal? Ampunkan Hamba, Tuanku. Hamba belum kawin. Kasihanilah hamba, tuanku,” ratap Sawal sambil berlutut.
“Siapa yang berkata seperti itu?” tanya baginda.
“Dia, Tuanku. Manusia yang pakai kacamata sebelah itu, tuanku,” jawab Sawal sambil menunjuk ke arah sang panglima kapal di sebelahnya.
“Engkau akan bebas dari pancung kepala, jika engkau bisa menjawab pertanyaan ku,” baginda menawarkan.
“Baiklah, tuanku.”
“Tapi hamba minta satu syarat, kalau jawaban hamba betul, hamba ingin sekali tinggal di kapal tuanku atau “Engkau mau mempermainkan hamba?” elak baginda.
“Tidak, Tuanku.”
“Baiklah,” jawab baginda.
“Ini pertanyaan lama, Tuanku. Hambe dapat waktu nonton film P. Ramlee, Baginda kan telah menyetujuinya, jadi tak boleh mengelak. Lagi pule, Hambe kan manusia bodoh, macam lagu Adaband, jadi Tuanku yang hebat tentu mudah menjawabnya,”
“Pertanyaan hambe, satu banyaaaaaaak, dua sedikit-sedikit, tiga kadang-kadang, empat jarang-jarang, apakah kesemuanya itu, Tuanku?” Sawal menantang.
Baginda melirik kepada Datuk bendahara, yang kebetulan saat itu menemai baginda berlayar ke pulau seberang. Namun kesemuanya terdiam, yang berarti tidak bisa menjawab. Baginda mencari akal yang barangkali bisa mengotak-atik soal Sawal.
“Nampaknya, Baginda kesulitan menjawab soal hambe,” Sawal balik bersuara memecah kebekuan.
“Baiklah, engkau tampaknye memang boleh bekerja dan tinggal di kapalku ini,” baginda mengalah.
“Jawabannye taklah susah sangat,Tuanku. Itu hanya ungkapan istri. Orang bersitri satu baaaanyaaak di dunia ini, tuanku. Sedangakn orang beristri dua, sedikit-sedikit. Orang yang beristri tiga, kadang-kadang, apalagi orang yang beristri empat, jaraaaang-jaaraaaang di dunia ini, Tuanku,” Sawal menjelaskan.
“Kalau orang beristri lima?” baginda bertanya.
“Itu monyet namanya, Tuanku,” jawab Sawal santai.
Baginda angguk-angguk kepala. Lalu setelah meminta nasehat dengan Datuk bendahara, beliau pun akhirnya mengizinkan untuk tinggal di kapal tersebut.
“Baiklah Anak mude. Mungkin karena engkau suke makan White meat, jadi bergelige jugak Engkau punye otak,” jelas Baginda.
“ Tapi Engkau harus rajin bekerja di kapal ku ini, jika Engkau malas, aku akan campakkan engkau ke laut lagi,” baginda memeperjelas.
Setelah berhari-hari, raja pun sangat senang melihat Sawal bekerja. Ia terlihat tangkas dan cekatan, meski kadang suka melamun. Selama di perairan lepas itu ia banyak menimba ilmu dari para pelaut seniornya, termasuk nakhoda dan panglima sendiri. Meskipun baru, ia terlihat lihai dalam pergaulan sehingga ia disukai oleh para pelaut lainnya.
Suatu ketika Sawal melihat seorang puteri yang cantik jelita. Dia mulai tertarik diam-diam. Setelah bertanya dengan kawan-kawan seprofesinya, ia akhirnya mengetahui bahwa itu adalah puteri raja Bujang Kelane. Hari demi hari kini ia lalui dengan sedikit gelisah, ia ceritakan dengan salah seorang temannya bahwa ia telah jatuh cinta dengan seorang puteri raja Bujang Kelane. Tapi temannya malah mencemooh, dan berkata bahwa dirinya tidak mungkin diterima oleh sang puteri ataupun sang raja. Sawal tetap berkeyakinan untuk mendapat sang puteri yang cantik jelita.
Sebenarnya sang Putri yang cantik ini ingin sekali melihat wajah pemuda yang bernama Sawal. Sang puteri mendengar semua tentang Sawal dari dayang-dayang yang selalu mengiringinya. Diam-diam Sawal membuat janji untuk bertemu sang puteri melalui salah satu dayang puteri. Saat itu lah Sawal menanyakan kepada dayang siapa nama sang puteri nan cantik jelita.
“Dayang, siapakah nama tuan puteri yang begitu cantik itu?” Sawal bertanya.
“Namanya Dang Serak Mersing, tuan puteri memang memiliki suara agak serak yang berkarakter Rock, maklum mantan vokalis Ikan Band” jelas dayang itu.
“Dayang, bolehkah hamba minta tolong sesuatu, Hamba ingin sekali bertemu dengan tuan puteri Serak Mersing, Hambe ingin mengutarakan sesuatu pada tuan puteri,” Sawal menjelaskan.
“Baiklah, nanti biar hambe yang mengatur pertemuan kalian, tanpa ada yang mengetahui hal ini kecuali kita bertiga,” jelas Dayang lagi.
Setelah semua diatur dan rancang dengan rapi maka suatu malam yang terang bulan, akhirnya mereka bertemu empat mata. Di bawah sinar bulan yang begitu indah, mereka bertemu di atas rumah kapal bagian sudut, mojok gitu loh. Si dayang yang setia selalu melihat-lihat kalau-kalau ada pengawal yang mengawasi mereka.
“Tuan Puteri, sebenarnya lancang benar hamba yang hina ini berani ingin bertemu dengan Tuan Putri Serak Mersing.”
“Janganlah Engkau merendah diri seperti itu, Sawal. Hamba hanya ditakdirkan lahir sebagai anak seorang raja dan bukan suatu yang harus dibanggakan. Kita sama-sama manusia, memiliki hak yang sama dengan orang lain.”
“Kata-kata Tuan Puteri serasa teh es yang mengguyur tenggorokanku yang sedang haus. Selama ini hamba tidak pernah berpikir Tuan Puteri sebaik ini. Hamba cukup ‘terpesona... pada pandangan pertama’ terhadap lemah lembutnya ucapan dan kebaikan Tuan Puteri.”
“Hamba juga tiada mengira kalau Sawal yang diceritakan orang ternyata berbeda dengan Sawal yang ada di hadapan hamba. Cukup cool ‘n cakep, gitu loh.”
“Ah..., Tuan Puteri bisa aja. Kan gue jadi malu...”
“Tuan Puteri, bolehkah hamba mengutarakann sesuatu pada Tuan Puteri? Tapi sebenarnya berat bagi hamba mengatakannya.”
“Dengan senang hati, Sawal. Silahkan saja kalau berat diringankan aja, biar gampang ngomongnya.”
“Sebenarnya sejak pertama kali hamba melihat wajah Tuan Puteri, Hamba merasakan sesuatu yang mengganjal hati hamba. Mungkin hamba tak sanggup mengatakannya di depan Tuan Puteri.”
“Katakan sajalah Sawal. Di sini hanya ada kita dan dayangku saja. Lagipula, dayang tidak akan mendengar perkataan kita.”
“Sebenarnya, hamba takut Tuan Puteri marah atau murka pada hamba. Karena yang akan hamba sampaikan sungguh tidak layak kedengarannya bagi Tuan Puteri. Hamba harap Tuan Puteri tidak marah.”
“Sebenarnya hamba... hamba....”
“Katakanlah Sawal, hamba tidakkan marah.”
“Hamba ...hamba telah mengidap penyakit yang namanya penyakit malarindu dan demam asmara terhadap Tuan Puteri. Hamba hanya mengatakan maksud hati hamba, tanpa mengharap sesuatu balasan dari Tuan Puteri.”
“Benarkah?”
Puteri langsung berlari dan menghampiri dayangnya dengan tersenyum malu-malu. Lalu ia menuju keruangannya meninggalkan Sawal sendirian. Tanpa dikomando, dayang langsung mendekati Sawal dan berkata “Tuan Sawal, pucuk dicinta ulam pun tiba. Tuan Puteri kelihatannya begitu gembira mendengar langsung perkataan Tuan.”
“Apakah hamba sedang bermimpi? Ah,tidak rasanya. Hamba tidak sedang mimpi, terima kasih ya Allah, Engkau telah memberiku sebuah cinta.”
Malam yang tidak pernah terbayangkan oleh Sawal, ia berhasil menaklukkan hati sang puteri idamannya. Ia begitu senang dan sungguh gembira, sesuatu yang dikiranya tidak mungkin kini telah diraihnya. Sebuah cinta yang romantis.
***
“Hari ini juga Engkau akan kami buang ke laut,” kata sang panglima.
“Ampunkan hamba, Tuan panglima. Hamba hanya bertemu dengan tuan puteri, tidak lebih,” jawab Sawal.
“Engkau akan diadili di hadapan Baginda. Engkau minta ampun saja di sana! Bawa dia kehadapan Raja!” perintah panglima kepada para pengawal.
Sidang dibuka oleh raja Bujang Kelane, menyidangkan kasus Sawal.
“Apakah Engkau mengakui kesalahanmu, wahai Sawal?” tanya raja.
“Apakah kesalahan hamba, Baginda?” tanya Sawal.
“Para petugas security malam mendapati Engkau telah berduaan bersama puteriku. Lalu panglima melaporkan kepada hamba bahwa engkau telah melakukan pelanggaran pasal 9999 ayat 9 UU perkapalan yang berbunyi ; “ manusia dan sejenisnya dilarang berduaan dengan yang bukan muhrim, terlebih lagi dengan puteri raja baik di atas, di bawah, di tiang, di lambung atau di mana saja di dalam kapal ini ”. Berarti Engkau diganjar dengan hukuman mati,” raja menjelaskan.
“Tuanku, cinta itu buta. Cinta tidak mengenal tahta dan kedudukan. Hamba memang manusia yang kecil dan tidak berarti bagi tuanku. Tapi hamba tetap akan mencintai tuan puteri apapun resikonya,” Sawal membela.
“Apa artinya cinta, hah. Cinta hanya membuat orang gila dan tidak sadar akan siapa dirimu itu. Anakku akan kutunangkan dengan Brad Pitt, bukan denganmu. Engkau akan dihukum dengan hukuman dilemparkan ke laut. Titik tanpa koma,” raja memutuskan.
“Jangan lakukan itu, Ayahnda. Ananda mohon, lepaskan Sawal dari hukuman itu Ayahnda,” tuan puteri memohon sambil menangis.
“Tidaaaak. Keputusanku sudah bulat telur. Tiada yang menentang perintah raja. Laksanakan hukuman itu, Panglima. Segera!” raja mulai berang.
“Siap, Baginda. Algojo, bersiaplah untuk melempar Bocah ini!” perintah panglima.
Saat itu juga dua orang algojo mengikat dan mulai mengangkat tubuh Sawal dan mulai mengayunkan tubuh Sawal.
“Kakanda Sawal..., jangan tinggalkan aku...!!!!!!!” teriak tuan puteri menjerit histeris dengan dijaga pengawal.
“Puteri... I Love You. Anggaplah ini sebuah mimpi....”
dan ...
“BYYUURRRR!!!!”
***
Sawal kaget bukan kepalang, tiba-tiba ia merasa tubuhnya basah. Rupanya ia baru sadar dirinya telah tercebur ke dalam laut. Ia terengah-engah berenang menghampiri sampannya, setelah naik kembali baru Sawal sadar. Sebuah kapal feri lewat tidak jauh dari sampannya dengan begitu kencang membuat sampannya oleng dan ia pun terlempar jatuh ke air. Sirna sudah harapannya bertemu dengan sang putri, tamat sudah mimpi Sawal yang begitu indah. Ikan tak dapat, mimpi pun lesap.