::..Instalasi Mikrotik (router/bandwidth/wireless). Instalasi jaringan internet, LAN, mikrotik, router, hotspot dan voucher hotspot serta maintenance warnet. email:sila.sazali@gmail.com.::

Diving Persiapan sebelum ke Tanjung Pinang

Besok pagi (Kamis, 31/01), aku harus bangun lebih awal. Ini mungkin latihan yang bisa dibilang sangat menentukan sebelum diving sebenarnya di Tanjung Pinang (10 Februari). Besok, Aku kebagian tugas membantu membawa beberapa set scuba diving ke kolam. Sebagai divisi HID, aku juga tadi mengkonfirmasi Tim SAR Brimobda Riau tentang latihan kami besok.

Itu kulakukan dengan full spirit, karena kami yang ikut sertifikasi diving baru saja menerima Sertifikat Diving jenjang "One Star Scuba Diver" yang berlaku internasional, termasuk aku. Artinya, dengan memegang sertifikat itu, aku sudah diizinkan menggunakan perlengkapan scuba diving untuk melakukan diving di sejumlah negera.
Di sini nih yang agak lucu... Niat kami awalnya adalah ingin meminta bantuan Brimob lewat Bpk Surjana (Komandan Tim) agar bisa meminjamkan kompresornya untuk pengisian tabung kami. Karena sudah lama tidak ada kabar berita sejak kami latihan bersama (hampir 6 bulan), waktu menelpon beliau, aku nyerocos kemana-mana. Maksudku, aku harus sedikit basa-basi membuka percakapan yang telah lama tidak terjadi antara kami (Aku dan Pak Sujarna).

Setelah maksudku ditangkap, eh.. beliau malah ngajak latihan bareng. Waduh, ini bisa kacau, karena niat kami hanya latihan khusus untuk tim kami saja. Tapi, karena kompresor masalahnya, ya, aku menyepakati kami latihan bersama.

Aku langsung lapor ke ketua klub kami (MSDC=Marine Science Diving Club), Hary, dianya ok2 saja. Selanjutnya, aku konfirmasi ke pelatih kami Bang Ali Usman, dia malah bilang "baguslah itu..."
Aku......???#####%%%%%

Read More......

Cari Judul, Eh...Dapat Betul

Meski hari-hari full job, tapi saya masih mikirin kuliah looh.. He...he.. Ya iyalah, soalnya mendengar pengalaman senior-senior yang udah kerja sambil kuliah, mereka banyak yang molor tamat sepanjang-panjangnya. Bahkan ada yang tak selesai. Alhmadulillah sekali, walau sibuk di kantor, sesekali saya pasti ngampus, lihat-lihat informasi, siapa tahu ketiban proyek...eh ketimpuk proyek dosen kali ya.

Alhasil, memang betul. Sehabis pulang latihan Diving di Kalinjuhang, eh HP saya bunyi. Candra kebetulan memberi informasi tentang adanya penelitian yang ditawari oleh dosen. Apalagi, kesempatan tidak datang dua kali, dan saya pun langsung meluncur ke TKP, alias di Lemlit Unri ketemu langsung sana Prof. Felitara. Konusltasi sebentar, sayapun dapat judul skripsi tentang Mikrobiologi laut, tepatnya di analisi bakteri penyakit udang dengan analisis 16S rDNA.

Setelah mempertimbangkan banyak hal, saya akhirnya memutuskan untuk melanjutkan penelitian ini dan mencoba mendapatkan beasiswa IM-Here, program Universitas untuk membantu pendanaan penelitian mahasiswa. Doain ya, mudah-mudahan jebol... Amin.

Read More......

Dikejar-kejar Pelanggan RT/RW Net

Namanya juga kerja di bagian IT dan website, tentunya dua konsep itu (walau aku hanya sedikit menguasai) menjadi bulan-bulananku setiap hari. Pokonya, selama hampir sebulan terakhir, aku harus fokus ke dunia ini karena kami baru memasang acces internet baru yang telah dilaunching pada awal tahun ini dan kebetulan ini adalah proyek divisi kami (Div. Online).

Saya mau cerita sedikit di blog ini, (ssst... ga penting jg sih). Hampir tiap hari kemarin ini, aku harus meninggalkan konsentarsiku di proposal skripsi, bahkan kerja utamaku di kantor. Dalam sekejap, aku beralih profesi mejadi Bupati, ya Buruh Panjat Tiang lah. Dua pelanggan kami belum juga bisa merasakan akses yang kami jual kepada mereka. Kebetulan, dua pelanggan ini
agak besar, yang satu instansi pemerintah dan yang satunya lembaga profit di kampus. Aku dan tim online yang jumlah tenaganya masih terbatas, terpaksa pontang-panting kesana-kemari mencoba menyelesaikan problem yang sejak awal muncul, not connected. Aku terpaksa naik turun memasang dan memperbaiki posisi antena dan radio, sementara sang ahli internet (bang Yudha) bekerja di dalam ruangan mensetting komputer supaya connect. Terkadang, aku juga turun tangan mensett IP pelanggan tersebut.

Kalau dihitung-hitung, mungkin entah berapa kali aku memanjat tower untuk memasang dan memperbaiki posisi maupun sambungan antena dan radio yang harus terpasang secara benar di atas tower. Untungnya, aku tidak phobia ketinggian, jadi pada ketinggian sekitar 20 meter aku masih nyaman-nyaman saja.

Sekarang, tinggal satu pelanggan yang belum terselesaikan, mudah-mudahan secepatnya bisa nyambung... Soryy ya pak Isep dan Anton!! Bersabar, saja dulu..


Read More......

Melukis Desember

Cerpen saya ini diposting di Riau Pos Edisi Budaya (Ahad, 20 Jan 2008)
Pekanbaru, Desember 1998
Hari-hari di Desember ini selalu hujan. Kadang lebat, kadang hanya gerimis saja. Aku lebih suka memaku diri di tepian jendela kamar, memandangi lalu lalang orang dan kendaraan yang kehujanan di jalan sana. Di hujan senja itu aku selalu menempelkan jemari tanganku ke kaca jendela kamar, lalu telunjukku meliuk-liuk membuat lukisan pada sisa tempias. Hatiku kulukis di sana, di penghujung siang-siang Desember. Begiku, ujung-ujung siang di Desember ini sering menyisakan cerita hingga ke malamnya, dan terkadang benar-benar tak menyisakan apa-apa, mengembun seperti tempias hujan di kaca jendela kamar, lalu lukisan jemariku pun hilang. Begitu juga lukisan wajahnya.

Gerimis meniti pelan-pelan, membuat malam tak bisa datang tanpa basah. Suara bang maghrib menyeruak di antara berjuta titik air yang kian deras. Aku masih melukis suara hati di kaca jendela. Kututup daun jendela, lalu berusaha menjadi penghamba. Kuguyur beberapa bagian jasadku, lalu bercengkerama dengan gerakan indah. Aku tenggelamkan diri bersama kalimah-kalimah mutiara, mencari kepuasan hakiki. Kalam indah-Nya begitu terasa di jiwa, begitu hangat di tengah dingin hujan Desember. Lama aku bersetubuh dengan kalimah-kalimahnya, dengan gerakan-gerakannya, hingga aku merasakan nikmat yang tak terlukiskan oleh jemariku di kaca jendela. Malam ini tak ada sisa cerita dari penghujung siang tadi. Semua terhapus, seperti lukisan di kaca yang mengembun, lalu hilang. Begitu juga wajahnya.

****
“Aku mungkin tak akan lama lagi di sini.”

“Engkau terlalu cepat. Kenapa kita tak keluar dari rutinitas akademis ini bersama-sama saja?”

“Aku punya tanggung jawab yang harus segera kupikul setelah selesai di sini. Sedangkan kau tidak. Kau bisa bebas seperti burung. Itulah lelaki. Mungkin saat ini tak ada tanggung jawab keluarga di pundakmu.”

“Mengemban tangung jawab tidak mesti harus kehilangan, bukan?”

“Engkau tidak akan kehilangan aku, Rio. Aku akan selalu di hatimu sebagai sahabat yang paling kau kenal.”

Kata-katanya yang terakhir mengalirkan anak sungai di kedua pelupuk matanya yang bulat. Aku diam. Tak bisa menangis seperti dia. Aku bahkan belum tahu maksud tangisannya, tapi aku tahu suasana kesedihan hatinya.

“Bukankah kita pertama bertemu pada saat seperti ini?” tanya dia sambil mencoba menepis bulir air matanya.

“Iya, Desember dua tahun silam. Hujan senja engkau lalui menuju pustaka Soeman Hs. Ternyata engkau gila buku. Aku tak kenal kau waktu itu, tapi ada dorongan yang menyuruhku agar engkau kuhampiri. Padahal aku tak pernah begitu percaya diri dengan vespa bututku. Tapi kau mau.”

“Sudahlah, engkau membuat seolah kita akan segera berpisah,” selanya sambil meliaht ke luar jendela. Matanya masih berkaca-kaca.

“Tapi memang begitu, kan? Bagiku sahabat sepertimu sebuah mukjizat.”

“Engkau terlalu berlebihan.”

“Engkau telah mendewasakan aku dalam banyak hal. Engkau bisa mendengarkanku saat aku butuh. Engkau bisa keluarkan aku dari jeruji masalah yang aku sulit mencari jalan keluarnya. Bukankah itu sahabat sejati?” tanyaku.

Azlina hanya diam, lalu meneguk minuman hangat yang kian sejuk mengikuti suhu di sekitar kami. Irama musik jazz yang diputar di dalam kafe benar-benar serasi dengan suasana gerimis di luar. Kadang suara saxophone-nya begitu indah, terkadang pula memilukan. Aku menempelkan jemariku di kaca jendela di samping meja yang kami tempati, lalu meliuk-liukkannya menjadi lukisan. Kata Azlina, lukisan itu mirip wajah, tepatnya menyerupai dua wajah wanita. Aku diam saja ketika ia menanyakan wajah siapa itu. Jemariku semakin lincah melukis uap air yang mengembun di kaca yang menghadap ke dalam itu. Di bagian kaca sebelah luar, tempias menyisakan aliran-aliran air hujan, membentuk sungai vertikal. Senja semakin tua dengan mendung yang menggelayut hitam menahan senyum sang surya yang kian condong ke ufuk.

Aku tak bisa menahannya ketika ia mengajakku pamit. Kukatakan padanya bahwa aku masih ingin di sini bersama hujan di bulan ini, Desember. Aku membiarkannya melangkahkan kaki dari kafe itu. Dari dalam aku perhatikan dia membuka payung pink-nya yang lebar. Lalu membuka langkah sedikit lebar menghindari genangan air hujan di tepi jalan. Lalu menghilang.

Sebentar lagi Azlina diwisuda. Sementara di kampungnya, sebuah desa di Bengkalis, sebuah sekolah telah menantinya untuk mengajar. Bukan itu saja, kepala sekolah SMA yang menawarinya itu sudah menjamin dia menjadi PNS jika dia sudah mengajar sejak beberapa bulan kemarin. Tapi dia masih kuliah. Sementara aku, jangankan ditawari bekerja, melamar kerja pun belum tentu diterima. Aku lebih senang menjalani kehidupan sebagai seorang penulis freelance. Di akhir-akhir kuliahku, aku kian banyak menulis di berbaga media cetak di Pekanbaru. Meski honornya tak seberapa, tapi kukumpulkan untuk biaya hidup dan kuliah di kota metropolis ini.

Senja ini, aku kembali mendapati sore yang basah. Langit tak cerah, masih berawan dan masih memuntahkan isinya sedari tadi. Wajah Azlina berubah di mataku. Ia terlihat senyum, lebih respon dan terkadang agresif. Akhir-akhir ini perasaanku tak sama dibanding biasanya terhadap Azlina. Aku selama ini mengenalnya hanya dalam batasan sahabat dekat saja. Tapi terkadang aku merasakan kehilangan saat ia tak bisa kutemui dalam beberapa waktu. Ia bahkan muncul menjelma seorang yang kuidolakan karena semua kebaikannya kepadaku selama ini. Aku belum tahu maksudnya apa. Sementara perasaan itu menekan, aku harus bisa tetap mempertahankan posisinya bagiku, seorang sahabat. Aku bimbang mengatakan yang sebenarnya, karena takut persahabatan kami menjadi korban! Inilah yang kuhindari.

Hingga pada akhirnya, aku benar-benar tak bisa membohongi perasaanku. Tapi masih tersimpan rapi di dalam rak yang paling dalam, tak terkatakan. Begitu jugakah perasaanmu, Azlina?

Jakarta, Desember 2007

Cuaca hari ini benar-benar tidak bersahabat. Petir dan derasnya hujan bersahutan tak tentu arah. Untunglah aku sudah sampai di Jakarta dengan selamat meski sedikit kehujanan. Besok aku harus kembali masuk kantor menjalani rutinitas yang terkadang menjemukan. Aku bekerja di bagian public relations di sebuah perusahaan kontraktor minyak yang memiliki cabang dan beroperasi di Riau. Setumpuk laporan harus ku selesaikan sebagai oleh-oleh dari Riau selama seminggu kemarin.

Aku mengontrak sebuah rumah pinggiran kota Jakarta. Rumah pribadiku sebenarnya tidak jauh dari kontrakanku, hanya sesekali di ujung minggu aku habiskan waktu bersama Abdi, anakku dan keluargaku satu-satunya di Kota Jakarta. Kondisi rumahku belum bisa ditinggali, hanya bisa untuk bermain-main di halaman belakangnya yang telah kutanami dengan berbagai tanaman dan bunga. Butuh banyak uang untuk menyelesaikan keseluruhannya. Setelah kematian istriku tiga tahun lalu, aku seolah tak mampu lagi untuk melanjutkan mimpiku, membangun sebuah istana buat istriku tercinta, dan buah hatiku. Semua harapanku terkubur bersama hilangnya istriku tercinta. Untunglah aku masih memiliki Abdi. Aku tak bisa membiarkan Abdi mengalami kisah sedih seperti aku.

Akhir tahun ini Abdi memasuki usia 8 tahun. Di usianya yang dini aku menemukan kemandiriannya yang tak ubah seperti almarhum istriku, Azlen. Wataknya, wajahnya, senyumannya mampu menggantikan kehadiran istriku di kedalaman tasik rinduku. Bagiku Abdi adalah segalanya. Aku sudah tak sabar lagi menggendongnya, mencium keningnya, membakar ikan laut segar bersama di ujung minggu, dan serta berkotor-kotor menanam bunga di pot rumah baruku. Semua bayangan kerinduanku pada Abdi terus mengusik perjalananku menuju rumah. Mungkin dia sedang tidur saat ini.

Dari bandara Soekarno-Hatta menuju rumah kini aku harus menggunakan jasa taksi. Biasanya aku dijemput Azlen dari bandara sehingga aku tak repot-repot menumpang taksi. Sudah lama aku tidak menyetir mobil bersamanya. Tiba-tiba istriku berada di depan menyetir mobil, dan terus tersenyum sambil menoleh ke arahku. Senyumnya merekah menyibakkan aroma harum seisi mobil.

“Shriiitt....!!!” Taksi berhenti tiba-tiba.

“Maaf, Pak,” ucap sopir kepadaku. Ia merasa kenyamananku terganggu gara-gara ia hampir menyerempet seorang gadis di depan taksi. Lalu ia menggerutu sesukanya.

Wajah senyum sumringah Azlen langsung berubah menjadi wajah kesal sopir taksi. Pelan-pelan taksi kembali berjalan dalam hujan. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang saat melihat wajah yang berlalu dari samping taksi yang kutumpangi. Dialah yang hampir terserempet taksi barusan. Aku merasa sangat mengenal wajah wanita itu tapi aku benar-benar lupa siapa sebenarnya dia. Dia berjalan di trotoar dengan payung pink menuju jembatan penyeberangan, dan hilang. Aku masih merasa mengenal payungnya yang berwarna pink. Ah.. mungkin aku pernah mengenalnya dalam mimpi.

Senja kian merayap dan perlahan-lahan beranjak pergi. Malam ini datang tidak sendiri. Ia menjelma bersama kilatan cahaya yang berbunyi menggelegar, bersama muntahan mendung yang tak tahu kapan berhentinya.

Entah dari mana musababnya, jari-jari tanganku mulai menari-nari di kaca mobil. Aku benar-benar tak tahu reflek tanganku yang terus-menerus melukis di kaca itu. Padahal aku sudha lama sekali tidak melakukan hal seperti itu. Wajah itu kembali hadir dalam ruang mindaku. Wajah yang sepuluh tahun lalu selalu sempat mengganggu konsentrasi kuliahku.

“Permisi, Pak,” ucap sopir taksi. Sejurus kemudian iapun berlalu.

Aku berlari kecil menuju rumah.

Aku menuju kamar. Abdi tertidur pulas. Selama ini Abdi kutinggal bersama Pak Heru, pria yang biasa menjaga dan merawat rumahku yang belum selesai kubangun. Dia sudah kuanggap abahku sendiri. Dia juga yang sering memberi nasehat maupun masukan-masukan ketika aku terlupa.

Dari dekat kuperhatikan wajah putra semata wayangku yang benar-benar menghapus segala kepenatanku seharian tadi. Dialah kini harapanku satu-satunya. Aku harus mampu menjadikan orang tua yang baik dan harus mampu menjadikan diriku seperti Azlen di hadapannya.

Pulau Padang, Awal 2008

Malam hanya menyisakan suara jangkrik dan sesekali diselingi keras suara burung hantu di hutan yang kian gundul jauh dari rumah. Suara televisi sudah mati. Suara mesin diesel genset yang menghiasai malam di kampung tertinggal ini juga sudah ikut mati. Tak ada lampu benderang yang bertahan hingga pagi, kecuali saat ada pesta perkawinan. Di dinding hanya lampu teplok yang sudah berumur, yang selalu kuisi minyaknya saat dulu sebelum aku berangkat ke surau untuk mengaji. Rumah panggung ini agak reot, berbunyi-bunyi jika kita berjalan di lantainya. Dari hasil kerjaku, sedikit-sedikit aku kirimkan juga uang untuk keperluan abah dan emak di rumah ini. Sekarang rumah ini jauh berbeda sebelum aku tinggal dulu. Sekarang sudah bercat, plafonnya juga bagus. Tapi lantainya tetap saja berbunyi-bunyi jika dipijak, menandakan sudah tua.

Kampung ini jauh tertinggal. Dibandingkan dengan Pekanbaru, jauh sekali. Ibukota propinsi yang kaya, yang penuh dengan aroma arogansi hegemoni dan kemegahan semu. Sementara kampung ini, jangan dibangun, dipijak saja oleh Bupati tak pernah. Dulu hutannya lebat. Kini tak lagi setelah meranti, ramin, mentangor, dan semacamnya, tak henti-henti ditebang, lalu dijual ke Malaysia.

Abdi tak juga mau tidur dari tadi. Aku senagaja mengajakknya ke kampung mengisi liburan sekolah dan tahun baru bersama keluarga di sini. Malam ini di kota-kota pasti sedang pesta pora, menyulut kembang api dan kerjaan lainnya yang membuang-buang duit. Aku lebih senang berkumpul berasama keluarga, bersama Abdi. Lalu akan menghabiskan malam dengan sejuta kenangan masa lalu di kepalaku, sebelum matahari tahun depan menyinari hariku.

“Ayah, Abdi kangen sama bunda. Kenapa cepat sekali dia meninggal ya, Ayah?”

“Bunda pergi karena sayang sama Abdi. Bunda itu selalu bersama Abdi, bersama ayah, dan bersama kita berdua saat kita di mana saja...”

“Tapi Abdi kangen ingin sama bunda sekarang.”

“Kan ada nenek sama tante Uli? Mereka sayang sama Abdi seperti bunda menyayangi Abdi.”

“Iya, tapi Abdi pingin banget ketemu bunda.”

“Iya, tidur yang cepat ya, biar nanti ketemu bunda dalam mimpi.”

“Yah, tadi siang di pantai Abdi ketemu dengan bu guru. Dia sayang banget sama Abdi. Dia mirip bunda. Dialah guru Abdi di sekolah di Jakarta.”

“Iya-iya. Tapi sekarang sudah malam. Cepetan tidur. Besok nenek marah kalau telat solat subuhnya.”

Kali ini Abdi terus mengoceh tentang gurunya. Beberapa kali dia menyebut nama Azlina, ibu guru yang mengajarinya di sekolah. Aku sempat terkejut mendengar nama itu sementara ia terus menceritakan kebiasaan-kebiasaan gurunya yang tak ubahnya seperti Azlina, hingga akhirnya Abdi tertidur sendiri.

Aku bengong sendiri dan semakin penasaran. Diakah Azlina yang pernah menjadi sahabatku dulu? Kekasih tak terungkapku dulu? Aku tak bisa memejamkan mata. Satu jam lebih tahun 2007 berlalu. Tapi aku semakin tak kuasa menahan bayangan wajahnya yang pernah menghiasi ruanganku sepuluh tahun silam. Apakah dia Azlina yang lain? Apakah payung itu masih belum rusak? Ah, mungkin namanya sama, tapi tidak orangnya. Pasti ini pasti hanya kebetulan. Persis seperti di film-film Indonesia. Aduhai, kenapa perasaanku sekarang benar-benar tak tenang, tak tentram. Aku tak mampu sedetikpun memejamlan mata. Aku melirik jam dinding, sudah pukul 4 pagi. Aku harus bertemu dengannya besok.

****
“Anakku bilang kamu mengajar di Jakarta. Bagaimana bisa sejauh itu?”

“Mungkin takdirlah yang membawaku ke sana. Setelah mengajar honorer di Bengkalis, meski gajinya lumayan tapi aku ingin mencoba mencari hal baru di luar. Aku tinggal bersama kakakku dan mencoba mencari kerjaan di Jakarta. Akhirnya aku diterima honorer di sekolah anakmu.”

“Aku pernah melihatmu, tapi aku ragu sekali waktu itu.”

“Barangkali orang lain.”

“Tidak. Itu kau. Engkau hampir terserempet taksi yang aku tumpangi. Setelah aku merenung-renung, aku teringat bahwa itu kau, karena payung pink ada di tanganmu waktu itu.”

“Aku selalu membawa payung ke manapun pergi. Bukankah sedia payung sebelum hujan?”

“Kenapa payung itu? Apa kau hanya punya itu saja dari dulu?”

“Ada memori tak terlupakan ketika aku membuka payung itu.”

“Memori? Memori tentang apa?”

“Tentang kau. Memori saat kau memberikan hadiah payung itu.Aku sangat menikmatinya ketika mengenang hal itu kembali. Aku sangat senang dengan pemberian payungmu itu.Kau memberikanku setelah kau melukiskan dua wajah aneh di kaca jendela saat hujan. Itulah kebiasanmu saat hujan turun. Aku ingat betul saat itu di bulan Desember.”

Aku, Azlina, dan butiran pasir pantai semua hanya diam. Tak ada kata apa-apa yang mampu untuk kuucapkan. Hanya angin yang masih mau berhembus mengelus-elus dan deburan ombak yang saling berkejaran ke tepian pantai seakan ingin mendekati kaki-kaki kami. Awal pertemuan tadi bagiku sangat-sangat mengharukan, aku bahkan merasakan suatu memori masa muda yang sangat indah ketika bertemu dengan Azlina Aku serasa ingin mendekapnya untuk sekian lama, untuk mengobati kehilangan setelah sepuluh tahun tak bertemu. Namun, harus bersikap dewasa, apalagi aku telah menjadi seorang ayah.

“Kenapa kau tak pernah memberitahuku mengenai pernikahanmu?” tanya Azlina mencairkan suasana yang sejenak terdiam seribu bahasa.

“Aku bahkan tidak ingin mengingatmu lagi waktu itu, Azlina.”

“Tega sekali.”

“Kau tak tahu kenapa aku tidak mau mengenangmu?”

“Kau membenciku, Rio.”

“Tidak, Azlina. Aku begitu mencintaimu...”

Azlina terkejut, lantas memandangku untuk sekian lama. Aku hanya memalingkan wajah maluku ke laut. Biarlah laut menjadi pelampiasan amarah batin yang tak pernah terungkap. Aku plong. Biarlah kukatakan sejujurnya meski aku jantung ini berdegup kencang, seolah menyedot semua energiku. Sekilas aku melihat Abdi yang sedang bermain-main di sana bersama Andi, keponakanku yang sengaja ku ajak untuk menemani Abdi bermain. Aku masih tetap diam.

“Ketika engkau pergi meninggalkan Pekanbaru, aku begitu merasa kehilangan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Kesedihanku waktu itu adalah karena ternyata kita benar-benar tidak akan pernah betemu lagi. Apalagi kau tak pernah memberitahu kabar dan keberadaanmu setelah itu.”

“Kenapa kau tak pernah mengatakannya, Rio?”

“Aku tak mampu, Azlina. Aku akui itulah kesalahan terbesar ku selama ini. Apakah aku juga bersalah padamu?” aku beranikan diri melahap matanya. Ada air mata mengalir di pipinya yang putih bersih.

“Engkau benar-benar tega, Rio. Bahkan untuk diriku yang senantiasa menanti saat-saat seperti yang kau katakan barusan. Aku letih menantimu, Rio. Menunggu kepastian yang tak pernah datang. Terakhir aku mendengar kabar pernikahanmu. Sungguh sakit, Rio,” jawabnya. Wajahnya mulai basah.

“Maafkan aku, Azlina. Aku akui aku benar-benar bersalah akibat ketidakberdayaanku mengatakan hal yang sesungguhnya kepadamu. Meski aku sangat mencintai almarhum istriku, tapi sekarang aku sungguh mengharapkanmu, Azlina. Aku ingin kita melewati hidup bersama lagi dalam ikatan yang sah...”

“Rio. Aku tidak bisa. Maafkan aku....”

Hanya itu kata yang terakhir aku dengar dari Azlina sebelum ia berlari meninggalkanku dengan seribu tangis. Aku tertunduk sendiri, menatap dalam-dalam butiran pasir halus. Sungguh aku tak kuasa mendengar jawabannya.

Pekanbaru, Januari 2008

Aku dan Abdi bersiap memasuki kabin pesawat untuk meninggalkan Riau menuju Jakarta. Aku berusaha meninggalkan semua beban dan kenangan masa lalu sebelum aku memasuki kabin pesawat. Aku harus menjalani kehidupan baru di tahun baru. Biar ku balut sendiri segala luka yang pernah ada, walau aku tak bisa menjamin ada penawarnya.

Di kampungku, di Pulau Padang, hari ini sebuah pesta nan mewah digelar. Dua hari sebelum keberangakanku ke Pekanbaru tenda biru dan pelaminan sudah tertata indah di sebuah rumah mewah. Rumah itu miliki seorang pemuda yang sukses menjadi juragan minyak di kampungku. Dialah yang hari ini secara resmi menikah dengan seorang gadis jelita dari desa seberang, seorang guru yang telah lama aku kenal. Mereka pasti bahagia.

Undangan itu masih kupegang, lalu kubolak-balik mengikuti perasaan yang kian basah, sebasah Desember lalu. Kupandangi satu persatu huruf yang membentuk nama di dalam undangan itu, nama yang suatu saat dulu dan kemarin pernah menjadi bagian hidupku. Aku benar-benar- remuk.

Bersama anakku, aku memilih kursi di tepi untuk lebih mudah melihat cakrawala dari jendela pesawat. Tanganku hanya memegang undangan pernikahan itu, tak mampu sedetik pun untuk melukiskan lagi embun di kaca jendela itu seperti di senja-senja Desember lalu.***



Pekanbaru, Januari 2008

Sazali Habib adalah mahasiswa Unri. Peminat sastra dan tergabung dalam komunitas FLP Pekanbaru.Tinggal di Pekanbaru.

Read More......

Mengungkap Misteri Kehidupan Penyu Belimbing dengan Satelit


Tidak banyak informasi yang diketahui tentang Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) karena hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk bermigrasi menjelajahi samudera.




Namun penelitian menggunakan satelit transmisi oleh WWF Indonesia di Jamursba Medi, Papua, bekerjasama dengan lembaga penelitian internasional NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), belum lama ini berhasil menyibak rahasia pengembaraan hewan langka tersebut.

Sepuluh ekor Penyu Belimbing yang dipasangi transmitter dipunggungnya dan dilepas dari pantai Jamursba Medi, Papua, pada Juli 2003 lalu, menurut pantauan satelit, kini salah satunya berada di Pantai Barat Amerika Serikat, tepatnya di Monteray Bay, sekitar 25 km dari Golden Bridge, San Fransisco.

Ini berarti, Penyu Belimbing tersebut telah mengarungi Samudera Pasifik dan menempuh jarak sekitar 6000 mil dari habitat asalnya di Papua dalam jangka waktu lebih dari satu tahun!

Dibandingkan penyu lainnya, Penyu Belimbing memiliki tingkat migrasi paling tinggi. Kenyataan bahwa mereka gemar bermigrasi melewati kawasan yang produktif untuk kegiatan perikanan terutama di Pasifik, membuat jenis ini beresiko tinggi tertangkap rawai nelayan tradisional maupun kapal ikan besar.

Nah, dengan menggunakan teknologi satelit, para peneliti dapat mengidentifikasi jalur migrasi Penyu Belimbing, yang hasilnya bisa dipakai sebagai acuan untuk menyusun langkah-langkah perlindungan wilayah jelajah (home range) jenis penyu tertua itu.

Penyu Belimbing - disebut juga Leatherbacks - dilindungi sebagaimana diatur dalam CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) Appendix 1. Saat ini diperkirakan hanya sekitar 2.300 penyu betina dewasa yang tersisa diseluruh Samudera Pasifik.

Jamursba Medi, yang terletak di pantai utara Kepala Burung Papua merupakan salah satu tempat peteluran utama bagi Penyu Belimbing. Hanya ada dua tempat yang masih menyimpan stok Penyu Belimbing di Samudera Pasifik, yaitu di Pasifik Utara termasuk di pantai-pantai Meksiko, Nikaragua, dan Costa Rica, dan di Pasifik Barat yakni di pantai-pantai Kepulauan Solomon, Vanuatu, Malaysia dan Papua (termasuk juga Papua Nugini).

Dengan semakin menurunnya populasi penyu belimbing di daerah peteluran di Malaysia dan Meksiko, Papua otomatis menjadi daerah peteluran terakhir sekaligus terbesar yang tersisa di seluruh Samudera Pasifik.

Hewan unik

Misteri kehidupan Penyu Belimbing sebenarnya telah lama menarik minat para peneliti dunia. Semula, para ilmuwan menduga sebagian besar Penyu Belimbing yang ditemukan menepi di pantai California atau yang tertangkap rawai nelayan di Hawaii, berasal dari Pasifik Utara atau tepatnya dari pantai peteluran Meksiko. Akan tetapi analisis DNA menunjukkan bahwa penyu-penyu tersebut berasal dari Pasifik Barat, yaitu dari pantai peteluran di Papua dan sekitarnya.

Hewan yang beratnya bisa mencapai 600-900 kg, dan merupakan salah satu reptil terbesar itu memang menyimpan rahasia pengembaraan yang unik. Dimulai dari tukik yang baru menetas dengan berat kurang dari 200 gram, penyu kecil tersebut berenang ke laut lepas dan baru kembali ke darat setelah berat badannya mencapai sekitar 600 kilogram, hanya untuk bertelur! Bayangkan, betapa panjang masa yang dihabiskannya menjelajahi laut.

Hanya penyu betina dewasa yang ’mampir’ kedaratan selama sekitar tiga jam dalam setiap masa bertelur untuk meletakkan 60-120 telurnya, lalu kembali ke laut, dan naik lagi ke daratan untuk bertelur 2-3 tahun kemudian.

Sayangnya, dari 1.000 telur Penyu Belimbing yang menetas, hanya satu hingga lima ekor yang hidup menjadi dewasa hingga puluhan tahun. Selain akibat aktivitas nelayan - yang menangkap penyu sebagai tangkapan samping - populasi Penyu Belimbing terancam serius oleh perburuan liar untuk mendapatkan telur, daging, dan cangkangnya. Begitu juga karena pencemaran laut; terutama oleh sampah plastik yang sering tertelan penyu karena disangka ubur ubur kesukaannya.

Sebagai pemangsa utama ubur-ubur, Penyu Belimbing menjadi pengatur keseimbangan populasi ubur-ubur di alam. Berlebihnya populasi ubur-ubur dapat menyebabkan penurunan populasi ikan, khususnya ikan-ikan dengan nilai komersial yang laku dipasaran, dikarenakan ubur-ubur adalah pemangsa utama larva ikan tersebut. Dengan demikian, pelestarian Penyu Belimbing memberikan manfaat bagi ikan, manusia dan industri nelayan.

Sumber: www.kompas.com, 12 Mei 2005

Read More......

Ramadhanku Kali Ini

Pernah aku posting pada Sep 28, 2007 di Multiply
Alhamdulillah, tiada kata yg pantas terucap saat aku kembali merasakan kembali suasana ramadhan tahun ini. Indah, dan penuh dengan aroma 'memory kampong'. Sedihnya, hingga akhir ramadhan ternyata aku bekum juga bisa puasa, sahur, dan buka bersama keluarga tercinta di desaku, desa yg terus terpencil jauh dari hiruk pikuk kota dan simpel. Puasa kali ini ku jalani seperti biasanya, sambil menikmati aktivitas harian yg sok-sok padat. Padahal tak terlalu.

Awalnya, sambil beraktivitas, aku punya target untuk khatam quran. Tapi nyatanya, sampai sekarang baru beberapa juz saja yang bisa aku selesaikan. Itu karena kadang aku lelah sekali dan kadang sampe tertidur baca alquran. Apalagi, sekarang aku harus banyak menghabiskan waktu di kantor, biasalah.

Tarawih, beberapa bolong, karena kecapekan. Puasa? Ya tidaklah. Alhamdulillah tidak sama sekali, dan mudah2an sampe akhir Ramadhan. Aktivitasku di siang & malam? Selanjutnya nanti aku tulis.***

Read More......

Traveling to Batam-Singapore


Pernah aku posting Sep 4, 2007 di Multiply

Akhirnya, sampai jg keinginan saya utk jln-jln ke Singapura. Ehmm-ehmmm...tapi berat bro, nenteng tas yg isinya peralatan keponakan, ya maklum aja, namanya bayi. Sebelum ketemu & kenalan sama patung Merlion, kami nginep di Batam dulu, karena sebenarnya acara intinya itu di Batam, tepatnya di Harris Ressort (kuereen banget resortnya..!!) Udah itu, baru melanglang ke negeri Singapura. Dasarnya ndeso, sekali ke Singapura ya celingak-celinguk.. (habis, kotanya keren abiiz & bersih bgt, kayak di film-film hollywood itu)



Read More......

Go to Medan & Toba Lake

Aku posting pada Jan 10, 2007 di multiply
Menempuh perjalanan selama lebih 24 jam sangat melelahkan. Kondisi diperparah lagi dengan banjir di Rohil sehingga harus ngantri 3 jam. Dengan dua mobil kami sekeluarga berangkat jam 6 pagi Jumat dan baru tiba di Medan jam 7.30 Sabtu.


Kelelahan selama diperjalanan segera terobati ketika kami betemu dengan Keluarga di Medan setelah bertahun-tahun ngga ketemu. Haruu.. Minggu sore setelah menghadiri pesta nikah, kami menuju Istana Maimoon, sebuah istana yang dulunya sgt megah. Keesokan harinya kami pulang dan mampir dulu ke dana Toba. Pokoknya seru banget dech..:)

Read More......

Pesona di Rupat Island

Aku posting pada Jul 1, 2007 di multiply
Pulau Rupat benar-benar menyimpan pesona yang indah. Pulau yang berhadapan langsung dengan negara Malaysia ini memiliki keindahan pantai yang alami dengan penduduk yang sangat ramah. Keindahan pantai yang eksotis ini menurut saya belum sempurna jika belum menaiki tower mercusuar dengan 12 anak tangga menuju ke puncaknya (1 anak tangga=4 m).


Dari tingkat paling atas, saya merasakan keindahan alam yang sangat agung. Pemandangan ke sekeliling tanpa batas, suasana sunset, dan bahkan pulau terluar Malaysia juga bisa dinikmati dari sini, meski samar-samar. Canda tawa kegirangan kami tak terbendung, layaknya 'wong ndeso' yang baru melihat suasana baru. Pulau-pulau kecil yang berseberangan dengan rupat, seperti P. Babi, P. Beruk, dan Beting Aceh jelas sekali kelihatan. Beting Aceh merupakan hamparan pasir yang membentuk pulau dan ditumbuhi oleh tumbuhan yang ketika pasang hanya kelihatan tumbuhannya saja. Di beting Aceh ini, anak-anak SMUN Rupat merayakan kelulusan mereka sehari sebelum kedatangan kami di Pulau Rupat.

Sebelum naik ke mercusuar, kami berkendara beberapa kilometer dengan sepeda motor di bibir pantai yang memiliki pasir putih sepanjang 13 km di sepanjang pantai utara Rupat. warga di sana tergakang lebih memilih berkendara di pantai dari pada melalui jalan desa ketika air surut. Pemandangan vegetasi pinus yang berjejer di sepanjang pantai menambah indahnya pemandangan pulau rupat.

Perjalanan perdana ke Rupat merupakan salah satu kegiatan akademis, yakni dalam tujuan Praktek Umum. Saya bertolak bersama 4 rekan satu jurusan (Ilmu Kelautan) yang memiliki tujuan desa yang berbeda. Tidak satupun di antara kami yang pernah ke sana, benar-benar bermodal nekat dan keahlian berbicara. Seorang kenalan di Pekanbaru yang asli penduduk Rupat tidak bisa ikut rombongan kami, hanya beberapa 'petuah' darinya yang saya jadikan sebagai 'guide'. Karena saya yang mengajak ketiga rekan untuk PU di Rupat, maka sayapun bertanggung jawab sebagai pimpinan rombongan ini. Al hasil, PU yang sangat mengkhawatirkan pada awalnya berubah menjadi sangat berkesan pada akhirnya.

Perjalanan ke pantai kami laksanakan di sela hari-hari kami mengambil data primer dan sekunder tentang kondisi kelautan dan perikanan di berbagai desa di Rupat. Suasana laut Rupat dengan gelombang yang lumayan besar memang benar-benar kami rasakan ketika kami mengambil data primer di laut dengan melakukan pengukuran terhadap berbagai parameter perairan Rupat.

Read More......

Kisah Bikin Passport

Aku psoting pada May 10, 2007
Pagi tadi lumayan cerah. Ngga biasanya aku ke pasar dengan adik sepupuku membeli perlengakapan dapur dan perut. Hitung-hitung lebih irit kan, daripada aku beli nasi di rumah makan. Pulang, aku langsung bersiap ke kantor Imigrasi, jam 08.10 aku berangkat, sedikit ngebut (90 km/jam). Aku udah janjian ama kakak iparku untuk kerumahnya terlebih dahulu, lalu kami berangkat bersama-sama dengan keponakanku yang termuda, Fathur (11 bulan, gemuk, lucu abizz).


Kami janji mo ngelanjutin bikin paspor yg diserahkan dua hari yg lalu. Ini ceritanya mo jalan-jalan ke singapore lah. Sesudah nyerahin tanda terima, eh, kami ngantri untk wawancara hampir setengah jam, berdiri, aku gendong in Fathur, ya ampun... Tanganku pegel bgt, apalagi nungguin nama kami yg ga dipanggil-panggil.

Kakakku bawain brg2 si kecil, sementara abangku udah ke kantor setelah ngantar kami. Akhirnya "Nefya Kurniahati, Sila Sazali, Fathur Rizqi!!" dipanggil oleh petugas. Si kecil usil bukan main, aku mo nulis jawaban petugas wawancarapun kerepotan.

Selsai itu, lain lagi ceritanya, kami ngantri berjam-jam utk dipanggil kasir. Kasir ngga manggil2 nama kami, aku pun maju menanyakannya. Ternyata, nama kami udah ada, cuma ngga dipanggil, Ya ampuuun pikirku.. Eh, ternyata kami disuruh Foto esoknya lagi. Bayangin, kami udh nunggu lama, ternyata disuruh melanjutkan besok.. huhh.

Read More......

Pengalaman Pertama Pakai SCUBA


Aku posting pada Mar 17, 2007 di multiply
Sudah hampir satu semster aku tergabung dalam Marine Science Diving Club (MSDC). Selama itu pula aku latihan renang, setiap minggu dua kali. Tapi karena berbagai aktivitas, aku biasanya ikut seminggu sekali. Sebagai persyaratan untuk sertifikasi selam, semua anggota club harus bisa & lulus latihan dasar. Jadi, MSDC juga pengurusnya pada ngga bisa selam, karena baru terbentuk. Namun sejak awal dilantiknya pengurus hingga sekarang latihan dasar seperti renang terus dilakukan.


Karena sebagian besar member club sudah mencapai berbagai syarat, tadi pagi (17 Maret) kami mulai berlatih dengan peralatan Scuba Komplit. Karena kami hanya membawa dua set, jadi aku dapat giliran yang kedua. Kami latihan di kolam renang Kalinjuhang, dengan kedalam maks 4 meter. Setelah berpose, aku langsung menceburkan diri ke bagian kolam yang paling dangkal, lalu memasang belt dengan 3 buah besi (6 kg) pemberat. Sebelum turun, aku telah memakai pakaian selam, sepatu dan fin utk penyelaman. Dibantu oleh kawan2 laen, aku mengenakan BCD yang sudah dirangkai dengan regulator, dan tabung.

Aku mencoba menenggelamkan diriku di dalam air. Beberapa saat aku beradaptasi. Akhirnya aku benar-benar menikmati asyiknya menyelam di bawah permukan air dengan peralatan lengkap. Pada kedalaman tertentu, aku equalizing untuk menyamakan tekanan di telingaku. Akhirnya aku berputar-putar pada kedalaman 4 meter.

Aku membayangkan betapa indahnya kalau dasatr kolam ini ditumbuhi dengan ankea terumu karang. Aku bahkan sempat merasakan halisinasi saat itu. Kata pelatih kami sich, karena efek kedalaman dan oksigen yang dihirup. Pokoknya seru dech...!!


Read More......

Kala Ali Telat Salat Subuh

Oleh: Mochamad Bugi, Internet
Dini hari itu Ali bin ABi Thalib bergegas bangun untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah di masjid bersama Rasulullah. Rasulullah tentulah sudah berada di sana. Rasanya, hampir tidak pernah Rasulullah keduluan orang lain dalam berbuat kebaikan. Tidak ada yang istimewa karena memang itulah aktivitas yang sempurna untuk memulai hari, dan bertahun-tahun lamanya Ali bin Abi Thalib sudah sangat terbiasa.


Langit masih gelap, cuaca masihlah dingin, dan jalanan masih pula diselimuti kabut pagi yang turun bersama embun. Ali melangkahkan kakinya menuju masjid. Dari kejauhan, lamat-lamat sudah terdengar suara Bilal memanggil-manggil dengan adzannya yang berkumandang merdu ke segenap penjuru Kota Madinah.

Namun belumlah begitu banyak melangkah, di jalan menuju masjid, di hadapannya ada sesosok orang. Ali mengenalinya sebagai seorang kakek tua yang beragama Yahudi. Kakek tua itu melangkahkan kakinya teramat pelan sekali. Itu mungkin karena usianya yang telah lanjut. Tampak sekali ia sangat berhati-hati menyusuri jalan.

Ali sebenarnya sangat tergesa-gesa. Ia tidak ingin tertinggal mengerjakan shalat tahyatul masjid dan qabliyah Subuh sebelum melaksanakan shalat Subuh berjamaah bersama Rasulullah dan para sahabat lainnya.

Ali paham benar bahwa Rasulullah mengajarkan supaya setiap umat muslim menghormati orang tua. Siapapun itu dan apapun agamanya. Maka, Ali pun terpaksa berjalan di belakang kakek itu. Tapi apa daya, si kakek berjalan amat lamban, dan karena itu pulalah langkah Ali jadi melambat. Kakek itu lemah sekali, dan Ali tidak sampai hati untuk mendahuluinya. Ia khawatir kalau-kalau kakek Yahudi itu terjatuh atau kena celaka.

Setelah sekian lamanya berjalan, akhirnya waktu mendekati masjid, langit sudah mulai terang. Kakek itu melanjutkan perjalanannya, melewati masjid.

Ketika memasuki masjid, Ali menyangka shalat Subuh berjamaah sudah usai. Ia bergegas. Ali terkejut sekaligus gembira, Rasulullah dan para sahabat masih rukuk pada rakaat yang kedua. Berarti Ali masih punya kesempatan untuk memperoleh shalat berjamaah. Jika masih bisa menjalankan rukuk bersama, berarti ia masih mendapat satu rakaat shalat berjamaah.

Sesudah Rasulullah mengakhiri shalatnya dengan salam, Umar bin Khattab memberanikan diri untuk bertanya. “Wahai Rasulullah, mengapa hari ini shalat Subuhmu tidak seperti biasanya? Ada apakah gerangan?”

Rasulullah balik bertanya, “Kenapakah, ya Umar? Apa yang berbeda?”

“Kurasa sangat lain, ya Rasulullah. Biasanya engaku rukuk dalam rakaat yang kedua tidak sepanjang pagi ini. Tapi tadi itu engkau rukuk lama sekali. Kenapa?”

Rasulullah menjawab, “Aku juga tidak tahu. Hanya tadi, pada saat aku sedang rukuk dalam rakaat yang kedua, Malaikat Jibril tiba-tiba saja turun lalu menekan punggungku sehingga aku tidak dapat bangun iktidal. Dan itu berlangsung lama, seperti yang kau ketahui juga.”

Umar makin heran. “Mengapa Jibril berbuat seperti itu, ya Rasulullah?”

Nabi berkata, “Aku juga belum tahu. Jibril belum menceritakannya kepadaku.”

Dengan perkenaan Allah, beberapa waktu kemudian Malaikat Jibril pun turun. Ia berkata kepada Nabi saw., “Muhammad, aku tadi diperintahkan oleh Allah untuk menekan punggunmu dalam rakaat yang kedua. Sengaja agar Ali mendapatkan kesempatan shalat berjamaah denganmu, karena Allah sangat suka kepadanya bahwa ia telah menjalani ajaran agamaNya secara bertanggung jawab. Ali menghormati seorang kakek tua Yahudi. Dari pegnhormatannya itu sampai ia terpaksa berjalan pelan sekali karena kakek itupun berjalan pelan pula. Jika punggungmu tidak kutekan tadi, pasti Ali akan terlambat dan tidak akan memperoleh peluang untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah denganmu hari ini.”

Mendengar penjelasan Jibril itu, mengertilah kini Rasulullah. Beliau sangat menyukai perbuatan Ali karena apa yang dilakukannya itu tentunya menunjukkan betapa tinggi penghormatan umat Islam kepada orang lain. Satu hal lagi, Ali tidak pernah ingin bersengaja terlambat atau meninggalkan amalan shalat berjamaah. Rasulullah menjelaskan kabar itu kepada para sahabat. Prev: 10 Golongan yang Tidak Masuk Surga

Read More......

Puteri Impian Sawal

Cerita Lama (Kutulis 3 Jan 2007)
Siapa bilang orang melayu suka makan angin, buktinya Sawal suka makan ikan. Bukan karena ia ingin punya otak macam orang Jepang, tapi karena Sawal memang penangkap ikan alias nelayan tulen. Profesi ini sudah ditekuni berabad-abad oleh nenek moyangnya sehingga ia terpaksa harus berbangga dengan sebutan nelayan, karena itu telah mendarahdaging di tubuhnya. Karena pekerjaannya inilah Sawal mengalami sebuah pengalaman yang menarik selama di tengah laut.



Angin pagi berhembus sepoi-sepoi, membuat siapa saja yang berada di pantai bisa tertidur lelap dan enggan untuk bangun. Pagi yang cerah itu sawal beranjak pergi ke tengah laut, kali ini tampaknya selain untuk menangkap ikan, ia berharap sesuatu perubahan terjadi dalam hidupnya. Ia pergi menggunakan sampan dayung. Karena enjoinya mendayung, ia pun terbawa lamunan.

Sawal tiba-tiba bertemu dengan sebuah kapal layar yang besar, seperti kapal kerajaan zaman bahola. Di dalamnya terdapat beratus-ratus pekerja. Dari setiap bagian kerja dipimpin oleh seorang kepala. Kemudian dari dalam rumah kapal itu tampaklah oleh Sawal seorang yang berpakain seperti raja diikuti dayang-dayangnya. Lama Sawal memperhatikan kejadian itu, lalu ia berusaha perlahan-lahan mendekati kapal besar itu. Sawal tampak keheran-herananan.

“Mungkin ini lancang kuning itu, atau kapal Christoper Columbus, ya?” pikir Sawal dalam hati.

Setelah agak dekat, Sawal melihat betapa indahnya kapal itu, jauh dari keindahan yang dimiliki oleh sampan goleknya.

“Atau kapal nabi Nuh?” Sawal bertambah pening.

Ia perhatikan ukiran-ukiran di kapal itu begitu eloknya, tiang-tiangnya, lambung kapalnya, dan dek kapal itu semuanya terukir dengan begitu hebat dan sempurna.

Tapi dia terkejut melihat seseorang dari kapal itu mengarahkan teropong ke arah dirinya. Dan ia berusaha lari tapi, keburu ketahuan.

“Hei, jangan pergi atau Engkau kami bunuh!,” kata sang nakhoda kapal.

“Ba..ba..baiklah, hamba tidak akan pergi, jangan bunuh hamba. Hamba belum kawin,” pintanya.

Dengan ketakutan Sawal pun mendekati dan mengikuti perintah sang panglima kapal. Ia kemudian merapatkan sampan goleknya dan mengikatkannya ke kapal besar itu.

“Hei anak muda, cepat kemari!” bentak panglima.

Ketika Sawal naik ke kapal itu, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang seakan-akan ia ingin jatuh saja ke laut. Di lihatnya di samping sang panglima 5 orang pengawal berbadan Ade Ray dengan AK 47 dipegang masing-masing.

“Engkau akan aku hadapkan ke Paduka Maharraja Sri Baginda Sultan Yang Dipertuan Agung Bujang Kelane bin Mahmud bin Atan Patin XIII, dan akan diadili dihadapan baginda,” jelas panglima.

“Kalau baginda berkehendak engkau dibunuh, maka engkau akan dipancung. Engkau punya kepala akan dipancang di atas tiang, sedangkan tubuhmu akan diberikan kepada ikan Hiu di laut lepas.

“Haaaa, ja ja jangan, tuanku. Hamba mohon ampun. Kan hamba tak bersalah? Apa salah hamba, tuan panglima?” Sawal protes.

Akhirnya Sawal dihadapkan dengan sang raja Bujang Kelane.

“Ampun tuanku. Hamba membawa seorang yang tak dikenal. Hamba mendapati dia mendekati kapal kita, tuanku,” papar sang panglima.

“Anak muda, siapa namamu?” tanya baginda raja.

“Nama hamba Sawal, Tuanku.”

"Kenapa engkau berlayar sampai ke daerah kami?"

"Hamba tidak sengaja, tuanku. Tapi biasanya ini daerah hamba menangkap ikan, tuanku. Jadi, mohon ampunilah hamba," Sawal meratap.

"Aku perlu berpikir sejenak."

“Tuanku, apakah hamba akan dipenggal? Ampunkan Hamba, Tuanku. Hamba belum kawin. Kasihanilah hamba, tuanku,” ratap Sawal sambil berlutut.

“Siapa yang berkata seperti itu?” tanya baginda.

“Dia, Tuanku. Manusia yang pakai kacamata sebelah itu, tuanku,” jawab Sawal sambil menunjuk ke arah sang panglima kapal di sebelahnya.

“Engkau akan bebas dari pancung kepala, jika engkau bisa menjawab pertanyaan ku,” baginda menawarkan.

“Baiklah, tuanku.”

“Tapi hamba minta satu syarat, kalau jawaban hamba betul, hamba ingin sekali tinggal di kapal tuanku atau “Engkau mau mempermainkan hamba?” elak baginda.

“Tidak, Tuanku.”

“Baiklah,” jawab baginda.

“Ini pertanyaan lama, Tuanku. Hambe dapat waktu nonton film P. Ramlee, Baginda kan telah menyetujuinya, jadi tak boleh mengelak. Lagi pule, Hambe kan manusia bodoh, macam lagu Adaband, jadi Tuanku yang hebat tentu mudah menjawabnya,”

“Pertanyaan hambe, satu banyaaaaaaak, dua sedikit-sedikit, tiga kadang-kadang, empat jarang-jarang, apakah kesemuanya itu, Tuanku?” Sawal menantang.

Baginda melirik kepada Datuk bendahara, yang kebetulan saat itu menemai baginda berlayar ke pulau seberang. Namun kesemuanya terdiam, yang berarti tidak bisa menjawab. Baginda mencari akal yang barangkali bisa mengotak-atik soal Sawal.

“Nampaknya, Baginda kesulitan menjawab soal hambe,” Sawal balik bersuara memecah kebekuan.

“Baiklah, engkau tampaknye memang boleh bekerja dan tinggal di kapalku ini,” baginda mengalah.

“Jawabannye taklah susah sangat,Tuanku. Itu hanya ungkapan istri. Orang bersitri satu baaaanyaaak di dunia ini, tuanku. Sedangakn orang beristri dua, sedikit-sedikit. Orang yang beristri tiga, kadang-kadang, apalagi orang yang beristri empat, jaraaaang-jaaraaaang di dunia ini, Tuanku,” Sawal menjelaskan.

“Kalau orang beristri lima?” baginda bertanya.

“Itu monyet namanya, Tuanku,” jawab Sawal santai.

Baginda angguk-angguk kepala. Lalu setelah meminta nasehat dengan Datuk bendahara, beliau pun akhirnya mengizinkan untuk tinggal di kapal tersebut.

“Baiklah Anak mude. Mungkin karena engkau suke makan White meat, jadi bergelige jugak Engkau punye otak,” jelas Baginda.

“ Tapi Engkau harus rajin bekerja di kapal ku ini, jika Engkau malas, aku akan campakkan engkau ke laut lagi,” baginda memeperjelas.

Setelah berhari-hari, raja pun sangat senang melihat Sawal bekerja. Ia terlihat tangkas dan cekatan, meski kadang suka melamun. Selama di perairan lepas itu ia banyak menimba ilmu dari para pelaut seniornya, termasuk nakhoda dan panglima sendiri. Meskipun baru, ia terlihat lihai dalam pergaulan sehingga ia disukai oleh para pelaut lainnya.

Suatu ketika Sawal melihat seorang puteri yang cantik jelita. Dia mulai tertarik diam-diam. Setelah bertanya dengan kawan-kawan seprofesinya, ia akhirnya mengetahui bahwa itu adalah puteri raja Bujang Kelane. Hari demi hari kini ia lalui dengan sedikit gelisah, ia ceritakan dengan salah seorang temannya bahwa ia telah jatuh cinta dengan seorang puteri raja Bujang Kelane. Tapi temannya malah mencemooh, dan berkata bahwa dirinya tidak mungkin diterima oleh sang puteri ataupun sang raja. Sawal tetap berkeyakinan untuk mendapat sang puteri yang cantik jelita.

Sebenarnya sang Putri yang cantik ini ingin sekali melihat wajah pemuda yang bernama Sawal. Sang puteri mendengar semua tentang Sawal dari dayang-dayang yang selalu mengiringinya. Diam-diam Sawal membuat janji untuk bertemu sang puteri melalui salah satu dayang puteri. Saat itu lah Sawal menanyakan kepada dayang siapa nama sang puteri nan cantik jelita.

“Dayang, siapakah nama tuan puteri yang begitu cantik itu?” Sawal bertanya.

“Namanya Dang Serak Mersing, tuan puteri memang memiliki suara agak serak yang berkarakter Rock, maklum mantan vokalis Ikan Band” jelas dayang itu.

“Dayang, bolehkah hamba minta tolong sesuatu, Hamba ingin sekali bertemu dengan tuan puteri Serak Mersing, Hambe ingin mengutarakan sesuatu pada tuan puteri,” Sawal menjelaskan.

“Baiklah, nanti biar hambe yang mengatur pertemuan kalian, tanpa ada yang mengetahui hal ini kecuali kita bertiga,” jelas Dayang lagi.

Setelah semua diatur dan rancang dengan rapi maka suatu malam yang terang bulan, akhirnya mereka bertemu empat mata. Di bawah sinar bulan yang begitu indah, mereka bertemu di atas rumah kapal bagian sudut, mojok gitu loh. Si dayang yang setia selalu melihat-lihat kalau-kalau ada pengawal yang mengawasi mereka.

“Tuan Puteri, sebenarnya lancang benar hamba yang hina ini berani ingin bertemu dengan Tuan Putri Serak Mersing.”

“Janganlah Engkau merendah diri seperti itu, Sawal. Hamba hanya ditakdirkan lahir sebagai anak seorang raja dan bukan suatu yang harus dibanggakan. Kita sama-sama manusia, memiliki hak yang sama dengan orang lain.”

“Kata-kata Tuan Puteri serasa teh es yang mengguyur tenggorokanku yang sedang haus. Selama ini hamba tidak pernah berpikir Tuan Puteri sebaik ini. Hamba cukup ‘terpesona... pada pandangan pertama’ terhadap lemah lembutnya ucapan dan kebaikan Tuan Puteri.”

“Hamba juga tiada mengira kalau Sawal yang diceritakan orang ternyata berbeda dengan Sawal yang ada di hadapan hamba. Cukup cool ‘n cakep, gitu loh.”

“Ah..., Tuan Puteri bisa aja. Kan gue jadi malu...”

“Tuan Puteri, bolehkah hamba mengutarakann sesuatu pada Tuan Puteri? Tapi sebenarnya berat bagi hamba mengatakannya.”

“Dengan senang hati, Sawal. Silahkan saja kalau berat diringankan aja, biar gampang ngomongnya.”

“Sebenarnya sejak pertama kali hamba melihat wajah Tuan Puteri, Hamba merasakan sesuatu yang mengganjal hati hamba. Mungkin hamba tak sanggup mengatakannya di depan Tuan Puteri.”

“Katakan sajalah Sawal. Di sini hanya ada kita dan dayangku saja. Lagipula, dayang tidak akan mendengar perkataan kita.”

“Sebenarnya, hamba takut Tuan Puteri marah atau murka pada hamba. Karena yang akan hamba sampaikan sungguh tidak layak kedengarannya bagi Tuan Puteri. Hamba harap Tuan Puteri tidak marah.”

“Sebenarnya hamba... hamba....”

“Katakanlah Sawal, hamba tidakkan marah.”

“Hamba ...hamba telah mengidap penyakit yang namanya penyakit malarindu dan demam asmara terhadap Tuan Puteri. Hamba hanya mengatakan maksud hati hamba, tanpa mengharap sesuatu balasan dari Tuan Puteri.”

“Benarkah?”

Puteri langsung berlari dan menghampiri dayangnya dengan tersenyum malu-malu. Lalu ia menuju keruangannya meninggalkan Sawal sendirian. Tanpa dikomando, dayang langsung mendekati Sawal dan berkata “Tuan Sawal, pucuk dicinta ulam pun tiba. Tuan Puteri kelihatannya begitu gembira mendengar langsung perkataan Tuan.”

“Apakah hamba sedang bermimpi? Ah,tidak rasanya. Hamba tidak sedang mimpi, terima kasih ya Allah, Engkau telah memberiku sebuah cinta.”

Malam yang tidak pernah terbayangkan oleh Sawal, ia berhasil menaklukkan hati sang puteri idamannya. Ia begitu senang dan sungguh gembira, sesuatu yang dikiranya tidak mungkin kini telah diraihnya. Sebuah cinta yang romantis.

***

“Hari ini juga Engkau akan kami buang ke laut,” kata sang panglima.

“Ampunkan hamba, Tuan panglima. Hamba hanya bertemu dengan tuan puteri, tidak lebih,” jawab Sawal.

“Engkau akan diadili di hadapan Baginda. Engkau minta ampun saja di sana! Bawa dia kehadapan Raja!” perintah panglima kepada para pengawal.

Sidang dibuka oleh raja Bujang Kelane, menyidangkan kasus Sawal.

“Apakah Engkau mengakui kesalahanmu, wahai Sawal?” tanya raja.

“Apakah kesalahan hamba, Baginda?” tanya Sawal.

“Para petugas security malam mendapati Engkau telah berduaan bersama puteriku. Lalu panglima melaporkan kepada hamba bahwa engkau telah melakukan pelanggaran pasal 9999 ayat 9 UU perkapalan yang berbunyi ; “ manusia dan sejenisnya dilarang berduaan dengan yang bukan muhrim, terlebih lagi dengan puteri raja baik di atas, di bawah, di tiang, di lambung atau di mana saja di dalam kapal ini ”. Berarti Engkau diganjar dengan hukuman mati,” raja menjelaskan.

“Tuanku, cinta itu buta. Cinta tidak mengenal tahta dan kedudukan. Hamba memang manusia yang kecil dan tidak berarti bagi tuanku. Tapi hamba tetap akan mencintai tuan puteri apapun resikonya,” Sawal membela.

“Apa artinya cinta, hah. Cinta hanya membuat orang gila dan tidak sadar akan siapa dirimu itu. Anakku akan kutunangkan dengan Brad Pitt, bukan denganmu. Engkau akan dihukum dengan hukuman dilemparkan ke laut. Titik tanpa koma,” raja memutuskan.

“Jangan lakukan itu, Ayahnda. Ananda mohon, lepaskan Sawal dari hukuman itu Ayahnda,” tuan puteri memohon sambil menangis.

“Tidaaaak. Keputusanku sudah bulat telur. Tiada yang menentang perintah raja. Laksanakan hukuman itu, Panglima. Segera!” raja mulai berang.

“Siap, Baginda. Algojo, bersiaplah untuk melempar Bocah ini!” perintah panglima.

Saat itu juga dua orang algojo mengikat dan mulai mengangkat tubuh Sawal dan mulai mengayunkan tubuh Sawal.

“Kakanda Sawal..., jangan tinggalkan aku...!!!!!!!” teriak tuan puteri menjerit histeris dengan dijaga pengawal.

“Puteri... I Love You. Anggaplah ini sebuah mimpi....”

dan ...

“BYYUURRRR!!!!”



***

Sawal kaget bukan kepalang, tiba-tiba ia merasa tubuhnya basah. Rupanya ia baru sadar dirinya telah tercebur ke dalam laut. Ia terengah-engah berenang menghampiri sampannya, setelah naik kembali baru Sawal sadar. Sebuah kapal feri lewat tidak jauh dari sampannya dengan begitu kencang membuat sampannya oleng dan ia pun terlempar jatuh ke air. Sirna sudah harapannya bertemu dengan sang putri, tamat sudah mimpi Sawal yang begitu indah. Ikan tak dapat, mimpi pun lesap.

Read More......