Booming film Ayat-ayat Cinta begitu dahsyat di seantero bioskop Indonesia. Pekanbaru termasuk salah satu kota yang tiketnya paling cepat habis sejak mulai dilaunch tanggal 26 Februari lalu. Aku sendiri begitu penasaran, pingin menonton meski tiketnya rebutan sama yang lain. Kesibukan kerja dan aktifitas lainnya membuat aku urung. Tapi keinginan itu tetap muncul meski pemutaran film yang disutradari oleh Hanung Bramantyo tersebut telah lama diputar.
Saat masih di kantor, aku dapat telpon dari temen, ada film ayat-ayat cinta di rumah. Rasa penasaran itu harus aku akhiri malam itu juga. Kenapa penasaran? Aku mungkin balik bertanya, kenapa orang begitu ramai menonton film yang di bintangi Fedi Nuril ini di bioskop-bioskop Pekanbaru hingga rela memboking tiket terlebih dahulu?
Aku sebenarnya sudah khatam membaca Novel karangan Kang Abik ini. Setelah menonton filmnya, ternyata sama-sama menyentuh. Tapi versi film tidak berhasil membuat aku meneteskan air mata, mungkin karena nontonnya bareng atau apa. Di novelnya yang asli, aku benar-benar merasakan di Mesir, merasa hanyut dalam roman percintaan dan konflik yang sangat menyentuh. Akupun menitikkan air mata.
Sebuah film yang fenomenal dan mampu menyedot perhatian publik. Menurutku, film ini ibarat oase di tengah padang pasir dunia perfilman nasional. Lihatlah, bioskop yang filmnya Indonesia, rata-rata tengah memutar film-film yang arah tujuannya tak jelas, horor melulu. Dari jaman heng wilaheng, kita sudah kenal dengan film kuntilanaknya Suzana, film nyiblorong, entah apalah lagi. Film yang seperti inilah sebenarnya yang harus menjadi garapan para sutradara masa kini dan menjadi tontonan bangsa yang sedang kacau saat ini.