::..Instalasi Mikrotik (router/bandwidth/wireless). Instalasi jaringan internet, LAN, mikrotik, router, hotspot dan voucher hotspot serta maintenance warnet. email:sila.sazali@gmail.com.::

Melukis Desember

Cerpen saya ini diposting di Riau Pos Edisi Budaya (Ahad, 20 Jan 2008)
Pekanbaru, Desember 1998
Hari-hari di Desember ini selalu hujan. Kadang lebat, kadang hanya gerimis saja. Aku lebih suka memaku diri di tepian jendela kamar, memandangi lalu lalang orang dan kendaraan yang kehujanan di jalan sana. Di hujan senja itu aku selalu menempelkan jemari tanganku ke kaca jendela kamar, lalu telunjukku meliuk-liuk membuat lukisan pada sisa tempias. Hatiku kulukis di sana, di penghujung siang-siang Desember. Begiku, ujung-ujung siang di Desember ini sering menyisakan cerita hingga ke malamnya, dan terkadang benar-benar tak menyisakan apa-apa, mengembun seperti tempias hujan di kaca jendela kamar, lalu lukisan jemariku pun hilang. Begitu juga lukisan wajahnya.

Gerimis meniti pelan-pelan, membuat malam tak bisa datang tanpa basah. Suara bang maghrib menyeruak di antara berjuta titik air yang kian deras. Aku masih melukis suara hati di kaca jendela. Kututup daun jendela, lalu berusaha menjadi penghamba. Kuguyur beberapa bagian jasadku, lalu bercengkerama dengan gerakan indah. Aku tenggelamkan diri bersama kalimah-kalimah mutiara, mencari kepuasan hakiki. Kalam indah-Nya begitu terasa di jiwa, begitu hangat di tengah dingin hujan Desember. Lama aku bersetubuh dengan kalimah-kalimahnya, dengan gerakan-gerakannya, hingga aku merasakan nikmat yang tak terlukiskan oleh jemariku di kaca jendela. Malam ini tak ada sisa cerita dari penghujung siang tadi. Semua terhapus, seperti lukisan di kaca yang mengembun, lalu hilang. Begitu juga wajahnya.

****
“Aku mungkin tak akan lama lagi di sini.”

“Engkau terlalu cepat. Kenapa kita tak keluar dari rutinitas akademis ini bersama-sama saja?”

“Aku punya tanggung jawab yang harus segera kupikul setelah selesai di sini. Sedangkan kau tidak. Kau bisa bebas seperti burung. Itulah lelaki. Mungkin saat ini tak ada tanggung jawab keluarga di pundakmu.”

“Mengemban tangung jawab tidak mesti harus kehilangan, bukan?”

“Engkau tidak akan kehilangan aku, Rio. Aku akan selalu di hatimu sebagai sahabat yang paling kau kenal.”

Kata-katanya yang terakhir mengalirkan anak sungai di kedua pelupuk matanya yang bulat. Aku diam. Tak bisa menangis seperti dia. Aku bahkan belum tahu maksud tangisannya, tapi aku tahu suasana kesedihan hatinya.

“Bukankah kita pertama bertemu pada saat seperti ini?” tanya dia sambil mencoba menepis bulir air matanya.

“Iya, Desember dua tahun silam. Hujan senja engkau lalui menuju pustaka Soeman Hs. Ternyata engkau gila buku. Aku tak kenal kau waktu itu, tapi ada dorongan yang menyuruhku agar engkau kuhampiri. Padahal aku tak pernah begitu percaya diri dengan vespa bututku. Tapi kau mau.”

“Sudahlah, engkau membuat seolah kita akan segera berpisah,” selanya sambil meliaht ke luar jendela. Matanya masih berkaca-kaca.

“Tapi memang begitu, kan? Bagiku sahabat sepertimu sebuah mukjizat.”

“Engkau terlalu berlebihan.”

“Engkau telah mendewasakan aku dalam banyak hal. Engkau bisa mendengarkanku saat aku butuh. Engkau bisa keluarkan aku dari jeruji masalah yang aku sulit mencari jalan keluarnya. Bukankah itu sahabat sejati?” tanyaku.

Azlina hanya diam, lalu meneguk minuman hangat yang kian sejuk mengikuti suhu di sekitar kami. Irama musik jazz yang diputar di dalam kafe benar-benar serasi dengan suasana gerimis di luar. Kadang suara saxophone-nya begitu indah, terkadang pula memilukan. Aku menempelkan jemariku di kaca jendela di samping meja yang kami tempati, lalu meliuk-liukkannya menjadi lukisan. Kata Azlina, lukisan itu mirip wajah, tepatnya menyerupai dua wajah wanita. Aku diam saja ketika ia menanyakan wajah siapa itu. Jemariku semakin lincah melukis uap air yang mengembun di kaca yang menghadap ke dalam itu. Di bagian kaca sebelah luar, tempias menyisakan aliran-aliran air hujan, membentuk sungai vertikal. Senja semakin tua dengan mendung yang menggelayut hitam menahan senyum sang surya yang kian condong ke ufuk.

Aku tak bisa menahannya ketika ia mengajakku pamit. Kukatakan padanya bahwa aku masih ingin di sini bersama hujan di bulan ini, Desember. Aku membiarkannya melangkahkan kaki dari kafe itu. Dari dalam aku perhatikan dia membuka payung pink-nya yang lebar. Lalu membuka langkah sedikit lebar menghindari genangan air hujan di tepi jalan. Lalu menghilang.

Sebentar lagi Azlina diwisuda. Sementara di kampungnya, sebuah desa di Bengkalis, sebuah sekolah telah menantinya untuk mengajar. Bukan itu saja, kepala sekolah SMA yang menawarinya itu sudah menjamin dia menjadi PNS jika dia sudah mengajar sejak beberapa bulan kemarin. Tapi dia masih kuliah. Sementara aku, jangankan ditawari bekerja, melamar kerja pun belum tentu diterima. Aku lebih senang menjalani kehidupan sebagai seorang penulis freelance. Di akhir-akhir kuliahku, aku kian banyak menulis di berbaga media cetak di Pekanbaru. Meski honornya tak seberapa, tapi kukumpulkan untuk biaya hidup dan kuliah di kota metropolis ini.

Senja ini, aku kembali mendapati sore yang basah. Langit tak cerah, masih berawan dan masih memuntahkan isinya sedari tadi. Wajah Azlina berubah di mataku. Ia terlihat senyum, lebih respon dan terkadang agresif. Akhir-akhir ini perasaanku tak sama dibanding biasanya terhadap Azlina. Aku selama ini mengenalnya hanya dalam batasan sahabat dekat saja. Tapi terkadang aku merasakan kehilangan saat ia tak bisa kutemui dalam beberapa waktu. Ia bahkan muncul menjelma seorang yang kuidolakan karena semua kebaikannya kepadaku selama ini. Aku belum tahu maksudnya apa. Sementara perasaan itu menekan, aku harus bisa tetap mempertahankan posisinya bagiku, seorang sahabat. Aku bimbang mengatakan yang sebenarnya, karena takut persahabatan kami menjadi korban! Inilah yang kuhindari.

Hingga pada akhirnya, aku benar-benar tak bisa membohongi perasaanku. Tapi masih tersimpan rapi di dalam rak yang paling dalam, tak terkatakan. Begitu jugakah perasaanmu, Azlina?

Jakarta, Desember 2007

Cuaca hari ini benar-benar tidak bersahabat. Petir dan derasnya hujan bersahutan tak tentu arah. Untunglah aku sudah sampai di Jakarta dengan selamat meski sedikit kehujanan. Besok aku harus kembali masuk kantor menjalani rutinitas yang terkadang menjemukan. Aku bekerja di bagian public relations di sebuah perusahaan kontraktor minyak yang memiliki cabang dan beroperasi di Riau. Setumpuk laporan harus ku selesaikan sebagai oleh-oleh dari Riau selama seminggu kemarin.

Aku mengontrak sebuah rumah pinggiran kota Jakarta. Rumah pribadiku sebenarnya tidak jauh dari kontrakanku, hanya sesekali di ujung minggu aku habiskan waktu bersama Abdi, anakku dan keluargaku satu-satunya di Kota Jakarta. Kondisi rumahku belum bisa ditinggali, hanya bisa untuk bermain-main di halaman belakangnya yang telah kutanami dengan berbagai tanaman dan bunga. Butuh banyak uang untuk menyelesaikan keseluruhannya. Setelah kematian istriku tiga tahun lalu, aku seolah tak mampu lagi untuk melanjutkan mimpiku, membangun sebuah istana buat istriku tercinta, dan buah hatiku. Semua harapanku terkubur bersama hilangnya istriku tercinta. Untunglah aku masih memiliki Abdi. Aku tak bisa membiarkan Abdi mengalami kisah sedih seperti aku.

Akhir tahun ini Abdi memasuki usia 8 tahun. Di usianya yang dini aku menemukan kemandiriannya yang tak ubah seperti almarhum istriku, Azlen. Wataknya, wajahnya, senyumannya mampu menggantikan kehadiran istriku di kedalaman tasik rinduku. Bagiku Abdi adalah segalanya. Aku sudah tak sabar lagi menggendongnya, mencium keningnya, membakar ikan laut segar bersama di ujung minggu, dan serta berkotor-kotor menanam bunga di pot rumah baruku. Semua bayangan kerinduanku pada Abdi terus mengusik perjalananku menuju rumah. Mungkin dia sedang tidur saat ini.

Dari bandara Soekarno-Hatta menuju rumah kini aku harus menggunakan jasa taksi. Biasanya aku dijemput Azlen dari bandara sehingga aku tak repot-repot menumpang taksi. Sudah lama aku tidak menyetir mobil bersamanya. Tiba-tiba istriku berada di depan menyetir mobil, dan terus tersenyum sambil menoleh ke arahku. Senyumnya merekah menyibakkan aroma harum seisi mobil.

“Shriiitt....!!!” Taksi berhenti tiba-tiba.

“Maaf, Pak,” ucap sopir kepadaku. Ia merasa kenyamananku terganggu gara-gara ia hampir menyerempet seorang gadis di depan taksi. Lalu ia menggerutu sesukanya.

Wajah senyum sumringah Azlen langsung berubah menjadi wajah kesal sopir taksi. Pelan-pelan taksi kembali berjalan dalam hujan. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang saat melihat wajah yang berlalu dari samping taksi yang kutumpangi. Dialah yang hampir terserempet taksi barusan. Aku merasa sangat mengenal wajah wanita itu tapi aku benar-benar lupa siapa sebenarnya dia. Dia berjalan di trotoar dengan payung pink menuju jembatan penyeberangan, dan hilang. Aku masih merasa mengenal payungnya yang berwarna pink. Ah.. mungkin aku pernah mengenalnya dalam mimpi.

Senja kian merayap dan perlahan-lahan beranjak pergi. Malam ini datang tidak sendiri. Ia menjelma bersama kilatan cahaya yang berbunyi menggelegar, bersama muntahan mendung yang tak tahu kapan berhentinya.

Entah dari mana musababnya, jari-jari tanganku mulai menari-nari di kaca mobil. Aku benar-benar tak tahu reflek tanganku yang terus-menerus melukis di kaca itu. Padahal aku sudha lama sekali tidak melakukan hal seperti itu. Wajah itu kembali hadir dalam ruang mindaku. Wajah yang sepuluh tahun lalu selalu sempat mengganggu konsentrasi kuliahku.

“Permisi, Pak,” ucap sopir taksi. Sejurus kemudian iapun berlalu.

Aku berlari kecil menuju rumah.

Aku menuju kamar. Abdi tertidur pulas. Selama ini Abdi kutinggal bersama Pak Heru, pria yang biasa menjaga dan merawat rumahku yang belum selesai kubangun. Dia sudah kuanggap abahku sendiri. Dia juga yang sering memberi nasehat maupun masukan-masukan ketika aku terlupa.

Dari dekat kuperhatikan wajah putra semata wayangku yang benar-benar menghapus segala kepenatanku seharian tadi. Dialah kini harapanku satu-satunya. Aku harus mampu menjadikan orang tua yang baik dan harus mampu menjadikan diriku seperti Azlen di hadapannya.

Pulau Padang, Awal 2008

Malam hanya menyisakan suara jangkrik dan sesekali diselingi keras suara burung hantu di hutan yang kian gundul jauh dari rumah. Suara televisi sudah mati. Suara mesin diesel genset yang menghiasai malam di kampung tertinggal ini juga sudah ikut mati. Tak ada lampu benderang yang bertahan hingga pagi, kecuali saat ada pesta perkawinan. Di dinding hanya lampu teplok yang sudah berumur, yang selalu kuisi minyaknya saat dulu sebelum aku berangkat ke surau untuk mengaji. Rumah panggung ini agak reot, berbunyi-bunyi jika kita berjalan di lantainya. Dari hasil kerjaku, sedikit-sedikit aku kirimkan juga uang untuk keperluan abah dan emak di rumah ini. Sekarang rumah ini jauh berbeda sebelum aku tinggal dulu. Sekarang sudah bercat, plafonnya juga bagus. Tapi lantainya tetap saja berbunyi-bunyi jika dipijak, menandakan sudah tua.

Kampung ini jauh tertinggal. Dibandingkan dengan Pekanbaru, jauh sekali. Ibukota propinsi yang kaya, yang penuh dengan aroma arogansi hegemoni dan kemegahan semu. Sementara kampung ini, jangan dibangun, dipijak saja oleh Bupati tak pernah. Dulu hutannya lebat. Kini tak lagi setelah meranti, ramin, mentangor, dan semacamnya, tak henti-henti ditebang, lalu dijual ke Malaysia.

Abdi tak juga mau tidur dari tadi. Aku senagaja mengajakknya ke kampung mengisi liburan sekolah dan tahun baru bersama keluarga di sini. Malam ini di kota-kota pasti sedang pesta pora, menyulut kembang api dan kerjaan lainnya yang membuang-buang duit. Aku lebih senang berkumpul berasama keluarga, bersama Abdi. Lalu akan menghabiskan malam dengan sejuta kenangan masa lalu di kepalaku, sebelum matahari tahun depan menyinari hariku.

“Ayah, Abdi kangen sama bunda. Kenapa cepat sekali dia meninggal ya, Ayah?”

“Bunda pergi karena sayang sama Abdi. Bunda itu selalu bersama Abdi, bersama ayah, dan bersama kita berdua saat kita di mana saja...”

“Tapi Abdi kangen ingin sama bunda sekarang.”

“Kan ada nenek sama tante Uli? Mereka sayang sama Abdi seperti bunda menyayangi Abdi.”

“Iya, tapi Abdi pingin banget ketemu bunda.”

“Iya, tidur yang cepat ya, biar nanti ketemu bunda dalam mimpi.”

“Yah, tadi siang di pantai Abdi ketemu dengan bu guru. Dia sayang banget sama Abdi. Dia mirip bunda. Dialah guru Abdi di sekolah di Jakarta.”

“Iya-iya. Tapi sekarang sudah malam. Cepetan tidur. Besok nenek marah kalau telat solat subuhnya.”

Kali ini Abdi terus mengoceh tentang gurunya. Beberapa kali dia menyebut nama Azlina, ibu guru yang mengajarinya di sekolah. Aku sempat terkejut mendengar nama itu sementara ia terus menceritakan kebiasaan-kebiasaan gurunya yang tak ubahnya seperti Azlina, hingga akhirnya Abdi tertidur sendiri.

Aku bengong sendiri dan semakin penasaran. Diakah Azlina yang pernah menjadi sahabatku dulu? Kekasih tak terungkapku dulu? Aku tak bisa memejamkan mata. Satu jam lebih tahun 2007 berlalu. Tapi aku semakin tak kuasa menahan bayangan wajahnya yang pernah menghiasi ruanganku sepuluh tahun silam. Apakah dia Azlina yang lain? Apakah payung itu masih belum rusak? Ah, mungkin namanya sama, tapi tidak orangnya. Pasti ini pasti hanya kebetulan. Persis seperti di film-film Indonesia. Aduhai, kenapa perasaanku sekarang benar-benar tak tenang, tak tentram. Aku tak mampu sedetikpun memejamlan mata. Aku melirik jam dinding, sudah pukul 4 pagi. Aku harus bertemu dengannya besok.

****
“Anakku bilang kamu mengajar di Jakarta. Bagaimana bisa sejauh itu?”

“Mungkin takdirlah yang membawaku ke sana. Setelah mengajar honorer di Bengkalis, meski gajinya lumayan tapi aku ingin mencoba mencari hal baru di luar. Aku tinggal bersama kakakku dan mencoba mencari kerjaan di Jakarta. Akhirnya aku diterima honorer di sekolah anakmu.”

“Aku pernah melihatmu, tapi aku ragu sekali waktu itu.”

“Barangkali orang lain.”

“Tidak. Itu kau. Engkau hampir terserempet taksi yang aku tumpangi. Setelah aku merenung-renung, aku teringat bahwa itu kau, karena payung pink ada di tanganmu waktu itu.”

“Aku selalu membawa payung ke manapun pergi. Bukankah sedia payung sebelum hujan?”

“Kenapa payung itu? Apa kau hanya punya itu saja dari dulu?”

“Ada memori tak terlupakan ketika aku membuka payung itu.”

“Memori? Memori tentang apa?”

“Tentang kau. Memori saat kau memberikan hadiah payung itu.Aku sangat menikmatinya ketika mengenang hal itu kembali. Aku sangat senang dengan pemberian payungmu itu.Kau memberikanku setelah kau melukiskan dua wajah aneh di kaca jendela saat hujan. Itulah kebiasanmu saat hujan turun. Aku ingat betul saat itu di bulan Desember.”

Aku, Azlina, dan butiran pasir pantai semua hanya diam. Tak ada kata apa-apa yang mampu untuk kuucapkan. Hanya angin yang masih mau berhembus mengelus-elus dan deburan ombak yang saling berkejaran ke tepian pantai seakan ingin mendekati kaki-kaki kami. Awal pertemuan tadi bagiku sangat-sangat mengharukan, aku bahkan merasakan suatu memori masa muda yang sangat indah ketika bertemu dengan Azlina Aku serasa ingin mendekapnya untuk sekian lama, untuk mengobati kehilangan setelah sepuluh tahun tak bertemu. Namun, harus bersikap dewasa, apalagi aku telah menjadi seorang ayah.

“Kenapa kau tak pernah memberitahuku mengenai pernikahanmu?” tanya Azlina mencairkan suasana yang sejenak terdiam seribu bahasa.

“Aku bahkan tidak ingin mengingatmu lagi waktu itu, Azlina.”

“Tega sekali.”

“Kau tak tahu kenapa aku tidak mau mengenangmu?”

“Kau membenciku, Rio.”

“Tidak, Azlina. Aku begitu mencintaimu...”

Azlina terkejut, lantas memandangku untuk sekian lama. Aku hanya memalingkan wajah maluku ke laut. Biarlah laut menjadi pelampiasan amarah batin yang tak pernah terungkap. Aku plong. Biarlah kukatakan sejujurnya meski aku jantung ini berdegup kencang, seolah menyedot semua energiku. Sekilas aku melihat Abdi yang sedang bermain-main di sana bersama Andi, keponakanku yang sengaja ku ajak untuk menemani Abdi bermain. Aku masih tetap diam.

“Ketika engkau pergi meninggalkan Pekanbaru, aku begitu merasa kehilangan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Kesedihanku waktu itu adalah karena ternyata kita benar-benar tidak akan pernah betemu lagi. Apalagi kau tak pernah memberitahu kabar dan keberadaanmu setelah itu.”

“Kenapa kau tak pernah mengatakannya, Rio?”

“Aku tak mampu, Azlina. Aku akui itulah kesalahan terbesar ku selama ini. Apakah aku juga bersalah padamu?” aku beranikan diri melahap matanya. Ada air mata mengalir di pipinya yang putih bersih.

“Engkau benar-benar tega, Rio. Bahkan untuk diriku yang senantiasa menanti saat-saat seperti yang kau katakan barusan. Aku letih menantimu, Rio. Menunggu kepastian yang tak pernah datang. Terakhir aku mendengar kabar pernikahanmu. Sungguh sakit, Rio,” jawabnya. Wajahnya mulai basah.

“Maafkan aku, Azlina. Aku akui aku benar-benar bersalah akibat ketidakberdayaanku mengatakan hal yang sesungguhnya kepadamu. Meski aku sangat mencintai almarhum istriku, tapi sekarang aku sungguh mengharapkanmu, Azlina. Aku ingin kita melewati hidup bersama lagi dalam ikatan yang sah...”

“Rio. Aku tidak bisa. Maafkan aku....”

Hanya itu kata yang terakhir aku dengar dari Azlina sebelum ia berlari meninggalkanku dengan seribu tangis. Aku tertunduk sendiri, menatap dalam-dalam butiran pasir halus. Sungguh aku tak kuasa mendengar jawabannya.

Pekanbaru, Januari 2008

Aku dan Abdi bersiap memasuki kabin pesawat untuk meninggalkan Riau menuju Jakarta. Aku berusaha meninggalkan semua beban dan kenangan masa lalu sebelum aku memasuki kabin pesawat. Aku harus menjalani kehidupan baru di tahun baru. Biar ku balut sendiri segala luka yang pernah ada, walau aku tak bisa menjamin ada penawarnya.

Di kampungku, di Pulau Padang, hari ini sebuah pesta nan mewah digelar. Dua hari sebelum keberangakanku ke Pekanbaru tenda biru dan pelaminan sudah tertata indah di sebuah rumah mewah. Rumah itu miliki seorang pemuda yang sukses menjadi juragan minyak di kampungku. Dialah yang hari ini secara resmi menikah dengan seorang gadis jelita dari desa seberang, seorang guru yang telah lama aku kenal. Mereka pasti bahagia.

Undangan itu masih kupegang, lalu kubolak-balik mengikuti perasaan yang kian basah, sebasah Desember lalu. Kupandangi satu persatu huruf yang membentuk nama di dalam undangan itu, nama yang suatu saat dulu dan kemarin pernah menjadi bagian hidupku. Aku benar-benar- remuk.

Bersama anakku, aku memilih kursi di tepi untuk lebih mudah melihat cakrawala dari jendela pesawat. Tanganku hanya memegang undangan pernikahan itu, tak mampu sedetik pun untuk melukiskan lagi embun di kaca jendela itu seperti di senja-senja Desember lalu.***



Pekanbaru, Januari 2008

Sazali Habib adalah mahasiswa Unri. Peminat sastra dan tergabung dalam komunitas FLP Pekanbaru.Tinggal di Pekanbaru.